SEJARAH

09.55  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  

SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA 
DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA


DIKELUARKAN OLEH :
SEKRETARIAT TUNTUNAN AGUNG 
KEROKHANIAN SAPTA DARMA


UNIT PENERBITAN
Sanggar Candi Sapta Rengga - Surokarsan MG.II/472 Yogyakarta 55151
Telepon/Fax : (0274) 375337  -  Email : saptadarma@yahoo.com




KATA PENGANTAR
Sesuai dengan petunjuk yang diterima langsung oleh Ibu Sri Pawenang pada saat sujud bersama tanggal 18 Desember 1964, yaitu pada malam tirakatan dalam rangka perabuan jenazah Bapak Hardjosopoero yang bergelar Panuntun Agung Sri Gutama di Krematorium Kembang Kuning Surabaya, terlihat ada “DUA BUAH BUKU TEBAL BERWARNA KUNING GADING DENGAN TULISAN BERWARNA KUNING EMAS”. Yang maksudnya merupakan suatu perintah supaya menyusun “BUKU SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA”.
Dalam rapat tanggal 26 Pebruari 1988 di Sanggar Candi Sapta Rengga Yogyakarta yang diselenggarakan atas prakarsa Ibu Sri Pawenang, telah sepakat bulat dibentuknya Panitia Penyusun Buku Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama, yang terdiri dari 7 (tujuh) orang dengan nama “TIM TUJUH”. Adapun susunan selengkapnya sebagai berikut :
1. K  e  t  u  a     :   Ibu Sri Pawenang
2. Wakil Ketua   :   Bapak R. W. Soegondo
3. Sekretaris I    :   Bapak D. Soetjipto
4. Sekretaris II   :   Bapak Miskandar
5. Anggota         :   Bapak Soepangat Sosrowimpoeno
6. Anggota         :   Bapak R. Soetardjo HKS
7. Anggota         :   Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo
Pada tanggal 19 s/d 20 Maret 1989 Tim Tujuh telah memulai tugasnya menuju ke Pare, Kediri, Jawa Timur untuk mengumpulkan bahan-bahan masukan dari para saksi hidup yang masih ada di Pare, guna lebih meyakinkan bagi Tim Tujuh dalam usahanya menyusun buku tersebut.

Disamping buku dokumentasi yang ada sebagai bahan bakunya, Tim Tujuh berusaha dengan segala kemampuan yang ada, mengumpulkan pula bahan-bahan dari para saksi hidup dan tokoh-tokoh (tuntunan / warga) yang dipandang mumpuni tentang Wewarah Sapta Darma pada waktu itu.

Tim Tujuh menyadari bahwa untuk melaksanakan tugas tersebut sangat diperlukan waktu, pikiran, tenaga dan dana. Oleh karenanya, Tim Tujuh telah berusaha dengan segala kemampuan yang ada, disertai dengan berdoa mohon petunjuk / tuntunan dari Hyang Maha Kuasa, agar senantiasa mendapat kekuatan dan mampu untuk menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang memadai untuk disuguhkan kepada seluruh warga / masyarakat.

Dalam menyusun Buku Sejarah ini, Tim Tujuh bertugas untuk menghimpun semua bahan-bahan yang sesuai dengan aslinya, sejak diterimanya Wahyu Sujud tanggal 27 Desember 1952 s/d 16 Desember 1964, saat wafatnya Bapak Hardjosopoero yang bergelar Panuntun Agung Sri Gutama. Untuk tidak mengurangi keasliannya selengkapnya masih menggunakan istilah “AGAMA SAPTA DARMA” dan “PANCASILA”.  Namun sejak keluarnya  PENPRES No.1/1965 istilah “AGAMA” diganti “KEROKHANIAN”. Demikian pula istilah “PANCASILA” dalam Wewarah Tujuh, mulai tahun 1966 ditiadakan atas instruksi Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 20 Juni 1966, No.154/Sospol-K/Pakem/66 yang merupakan tindak lanjut dari surat Kejaksaan Tinggi Yogyakarta No.1598/Pakem/TjKT/66 tertanggal 21 April 1966.
Atas berkat dan rahmat Allah Hyang Maha Kuasa, Tim Tujuh telah mampu dan dapat menghimpun bahan-bahan dan membuat konsep Buku Sejarah yang telah lama dinanti-nantikan seluruh Warga Kerokhanian Sapta Darma, sebagai dokumentasi autentik dan sarana pengembangan di daerah-daerah dengan nama “BUKU SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA”.

Semoga dengan keluarnya Buku Sejarah ini, terbukalah suasana alam yang mengantar pengabdian seluruh Tuntunan dan Warga Kerokhanian Sapta Darma kepada masyarakat dan negaranya masing-masing, demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik jasmani maupun rohani di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya bagi Bangsa Indonesia, serta untuk mewujudkan perdamaian dunia bagi seluruh umat manusia.
Akhirnya Tim Tujuh tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam menyusun Buku Sejarah ini, khususnya kepada para sahabat Bapa Panuntun Agung Sri Gutama sebagai saksi penerimaan wahyu yang telah banyak memberi bahan masukan kepada Tim Tujuh. Semoga Allah Hyang Maha Kuasa melimpahkan karuniaNya. 

CATATAN KETERANGAN :
Karena sesuatu hal Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo selaku anggota Tim Tujuh tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka Tim Tujuh dalam rapatnya tanggal 28 Oktober 1989 telah mengambil keputusan, bahwa tugas Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo digantikan oleh Bapak W. Setyoatmodjo, BA hingga selesai tersusunnya Buku Sejarah ini.


Tim Tujuh
Penyusun Buku Sejarah Penerimaan
Wahyu Wewarah Sapta Darma dan
Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama
Ketua,


SRI PAWENANG




SAMBUTAN
TUNTUNAN AGUNG KEROKHANIAN SAPTA DARMA



 
                                    
Kami menyambut gembira dengan diterbitkannya Buku Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama ini, karena memang buku ini sudah sejak lama ditunggu-tunggu kehadirannya oleh seluruh Warga Kerokhanian Sapta Darma.

Patut puji syukur dipanjatkan kehadapan Allah Hyang Maha Kuasa, bahwasanya dengan diterbitkannya Buku Sejarah ini akan dapat memberikan gambaran tentang peristiwa yang luar biasa, yaitu detik-detik bersejarah ketika Bapak Hardjosopoero yang kemudian bergelar Panuntun Agung Sri Gutama menerima Wahyu Ajaran Kerokhanian Sapta Darma selama 12 (dua belas) tahun dengan seluruh bukti-bukti dan persaksiannya.
Sesungguhnya desakan dari seluruh Warga Kerokhanian Sapta Darma melalui beberapa kali Sarasehan Agung Tuntunan untuk segera menerbitkan Buku Sejarah ini sudah berjalan sejak puluhan tahun lamanya, namun baru kali ini bisa terwujud. Hal tersebut disebabkan karena di dalam proses menghimpun dan menggali bahan-bahan penyusunan Buku Sejarah ini betul-betul membutuhkan waktu yang cukup panjang dan selektif disamping terbatasnya pelaku-pelaku peristiwa yang masih hidup, demi mempertahankan realitas data dan fakta yang akurat, agar tetap terjamin kemurnian dan kelestarian Ajaran Kerokhanian Sapta Darma disepanjang jaman.

Mudah-mudahan dengan terbitnya Buku Sejarah ini akan dapat memperluas wawasan kita bersama dan lebih membangkitkan semangat para Warga Kerokhanian Sapta Darma didalam meningkatkan darmanya, demi terwujudnya Satria-satria Utama yang berbudi luhur, sehingga tercapai tujuan hidup menghayu-hayu bahagianya buana, yaitu terwujudnya kebahagiaan hidup lahir dan  batin, di dunia maupun di alam langgeng nantinya.
Akhirnya terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Tim Tujuh yang kemudian dilengkapi menjadi Tim Sembilan, yang telah bekerja keras tanpa pamrih dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi didalam penyusunan buku yang amat berguna dan bersejarah ini.  
Semoga Allah Hyang Maha Kuasa senantiasa memancarkan sinarNya kepada kita sekalian, sehingga kita dapat mendarmakan ajaran sesuai dengan kehendakNya.
Waras.


Yogyakarta,  Juli 2010
Tuntunan Agung
Kerokhanian Sapta Darma,
                                                                                   


SAEKOEN PARTOWIJONO



SAMBUTAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

   




BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual merupakan warisan Bangsa Indonesia. Sebagai kebudayaan rohaniah, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah lama dihayati oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Religi yang menjadi ciri utama dari kebudayaan spiritual itu telah berakar dari kebudayaan nenek moyang kita jauh sebelum agama-agama yang ada dan diakui di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual adalah merupakan bagian dari kebudayaan nenek moyang kita dan telah lama menunjukkan eksistensinya.
Konsep Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah keyakinan dan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah menjadi dasar bagi perilaku para penghayat dalam mendekatkan diri kepadaNya dan dalam perilaku hidup sehari-hari. Pengakuan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kemudian dilanjutkan dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta beserta seluruh isinya yang membawa konsekuensi dan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan para penghayat.

Penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan seluruh ciptaanNya oleh para penghayat membuat ia sadar akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan seluruh isinya atau ciptaanNya. Kesadaran oleh para penghayat terhadap Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadikan pula bahwa ia adalah bagian dari makhluk ciptaanNya.

Aliran kepercayaan di masyarakat menurut Jaksa Agung Republik Indonesia pada Munas HPK V tahun 1989 di Kaliurang, Yogyakarta terdiri dari :

Aliran kepercayaan masyarakat yang bersumber pada wahyu atau kitab-kitab suci yang berbentuk aliran-aliran keagamaan.
Aliran kepercayaan masyarakat yang bersumber pada budaya leluhur Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur dan telah membudaya pada masyarakat sebagai hasil penalaran daya cipta, karsa dan rasa manusia yang berwujud kepercayaan budaya meliputi aliran kebatinan, kejiwaan, Kerokhanian / Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Aliran-aliran mistik keagamaan dan atau budaya, pedukunan, para normal, peramalan, metafisika, kanuragan dan sebagainya.

Ajaran Kerokhanian Sapta Darma sebagai salah satu aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di tengah situasi krisis Bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Turunnya Wewarah Kerokhanian Sapta Darma merupakan kehendak mutlak dari Hyang Maha Kuasa dan bukan rekayasa atau racikan orang-perorang, melainkan asli diterima oleh putra Bangsa Indonesia yaitu Bapak Hardjosopoero yang selanjutnya dikenal dengan nama / gelar Panuntun Agung Sri Gutama pada tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Ajaran Kerokhanian Sapta Darma diterima secara berturut-turut dari Allah Hyang Maha Kuasa yang dimulai dari Ajaran Sujud, Ajaran Racut, Ajaran Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti. Pada saat penerimaan wahyu, nama lengkap Ajaran Kerokhanian Sapta Darma adalah “Agama Sapta Darma”, akan tetapi sejak keluarnya PENPRES No.1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan / atau Penodaan Agama, maka nama “Agama Sapta Darma” disesuaikan menjadi “Kerokhanian Sapta Darma”.

Untuk memberikan gambaran tentang Ajaran Kerokhanian Sapta Darma mulai dari turunnya wahyu berikut sejarah penyebaran dan perkembangan secara lengkap kepada para penghayat dan masyarakat umum yang ingin mengetahui keberadaan Ajaran Kerokhanian Sapta Darma, dan atas tugas Tuntunan Agung Sri Pawenang, maka disusunlah Buku Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama ini.

Penyusunan Buku Sejarah ini sudah dimulai sejak tahun 1989 oleh Tim Tujuh yang dibentuk oleh Ibu Sri Pawenang, sesuai dengan petunjuk yang diterima langsung oleh Ibu Sri Pawenang pada saat sujud bersama tanggal 18 Desember 1964, yaitu dalam rangka perabuan jenazah Bapak Hardjosopoero dengan gelar Panuntun Agung Sri Gutama di Krematorium Kembang Kuning Surabaya, terlihat ada “DUA BUAH BUKU TEBAL BERWARNA KUNING GADING DENGAN TULISAN BERWARNA KUNING EMAS”. Yang maksudnya merupakan suatu perintah supaya menyusun “BUKU SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA” .

Dalam proses penyusunan Buku Sejarah ini, Tim Tujuh mengalami beberapa kali perubahan personalia, sebagai berikut :

Tim Tujuh Tahap I (26 Pebruari 1988 s/d 28 Oktober 1989) terdiri dari :

1. K e t u a         : Ibu Sri Pawenang
2. Wakil Ketua   : Bapak R. W. Soegondo
3. Sekretaris I    : Bapak D. Soetjipto
4. Sekretaris II   : Bapak Miskandar
5. Anggota         : Bapak Soepangat Sosrowimpoeno
6. Anggota         : Bapak R. Soetardjo HKS
7. Anggota         : Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo

Oleh karena Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo mengundurkan diri, maka Tim Tujuh Tahap II (28 Oktober 1989 s/d 24 Mei 1996) dilengkapi dengan susunan personalia sebagai berikut :

1. K e t u a        : Ibu Sri Pawenang
2. Wakil Ketua   : Bapak R. W. Soegondo
3. Sekretaris I   : Bapak D. Soetjipto
4. Sekretaris II  : Bapak Miskandar
5. Anggota        : Bapak Soepangat Sosrowimpoeno
6. Anggota        : Bapak R. Soetardjo HKS
7. Anggota        : Bapak W. Setyoatmodjo, BA

Sepeninggal Ibu Soewartini Martodihardjo, S.H. yang bergelar Sri Pawenang pada tanggal 24 Mei 1996, maka dalam Sarasehan Agung Tuntunan tahun 1999, Bapak Soedono Poerwodihadjo, S.H. ditetapkan sebagai Tuntunan Agung Kerokhanian Sapta Darma. Lalu beliau membentuk Tim Sembilan Tahap I (1 Januari 2000 s/d 1 Pebruari 2002) yang ditugasi melanjutkan penyusunan Buku Sejarah ini, dengan susunan personalia sebagai berikut :

1. K e t u a        : Bapak Saekoen Partowijono
2. Wakil Ketua  : Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo
3. Sekretaris I   : Bapak Tarmudji Djoharianto
4. Sekretaris II  : Bapak W. Setyoatmodjo, BA
5. Anggota        : Bapak Oesodo Ngari Erfan
6. Anggota        : Bapak Soepangat Sosrowimpoeno
7. Anggota        : Bapak I Wayan Surya Sukanta, S.H, M.H.
8. Anggota        : Bapak Purboyo HS
9. Anggota        : Bapak Sugiatmodjo

Oleh karena meninggalnya Bapak Soepangat Sosrowimpoeno, maka Tim Sembilan Tahap II (1 Pebruari 2002 s/d 12 Maret 2003) dilengkapi dengan susunan personalia sebagai berikut :

1. K e t u a          : Bapak Saekoen Partowijono
2. Wakil Ketua    : Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo
3. Sekretaris I     : Bapak Tarmudji Djoharianto
4. Sekretaris II    : Bapak W. Setyoatmodjo, BA
5. Anggota         : Bapak Oesodo Ngari Erfan
6. Anggota         : Bapak I Wayan Surya Sukanta, S.H, M.H.
7. Anggota         : Bapak Purboyo HS
8. Anggota         : Bapak Sugiatmodjo
9. Anggota         : Bapak Oeyoso

Oleh karena meninggalnya Bapak Drs. Sawino Dipowerdojo, maka Tim Sembilan Tahap III (12 Maret 2003 s/d 5 Pebruari 2010) dilengkapi dengan susunan personalia sebagai berikut :

1. K e t u a : Bapak Saekoen Partowijono
2. Wakil Ketua : Bapak Tarmudji Djoharianto
3. Sekretaris I : Bapak W. Setyoatmodjo, BA
4. Sekretaris II : Bapak Oesodo Ngari Erfan
5. Anggota : Bapak I Wayan Surya Sukanta, S.H, M.H.
6. Anggota : Bapak Purboyo HS
7. Anggota : Bapak Sugiatmodjo
8. Anggota : Bapak Oeyoso
9. Anggota : Bapak Rakimin Adiwinarno

Oleh karena meninggalnya Bapak Rakimin Adiwinarno, maka Tim Sembilan Tahap IV (5 Pebruari 2010 s/d sekarang) dilengkapi dengan susunan personalia sebagai berikut :

1. K e t u a         : Bapak Saekoen Partowijono
2. Wakil Ketua   : Bapak Tarmudji Djoharianto
3. Sekretaris I    : Bapak W. Setyoatmodjo, BA
4. Sekretaris II   : Bapak Oesodo Ngari Erfan
5. Anggota         : Bapak I Wayan Surya Sukanta, S.H, M.H.
6. Anggota         : Bapak Purboyo HS
7. Anggota         : Bapak Sugiatmodjo
8. Anggota         : Bapak Oeyoso
9. Anggota         : Bapak Ngurah Gordha

Tim Sembilan inilah yang menyelesaikan penyusunan “BUKU SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA” , hingga ke tahap pencetakan akhir.

1.2. DASAR HUKUM
Eksistensi Kerokhanian Sapta Darma sebagai bagian dari Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara legal mempunyai payung hukum yang kuat, yaitu :

Dasar Negara Pancasila;
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 dan Penjelasan Umum;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 1;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan pasal 2;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18; 
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pasal 58 ayat (2) h; pasal 64 ayat (2) dan pasal 105; serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007.
Surat Keputusan Bersama Mentri Dalam Negeri dan Mentri Kebudayaan dan Pariwisata; No. 43 Tahun 2009 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

1.3. TUJUAN PENYUSUNAN
Tersedianya fakta sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama.
Memberikan arah, pegangan, pedoman, petunjuk bagi Warga Kerokhanian Sapta Darma dalam upaya memahami, menghayati dan mendalami serta mengamalkan ajaran.
Mengenang kepeloporan dan jasa-jasa Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dan Ibu Sri Pawenang dalam mengembangkan ajaran.
Sebagai inspirasi perjuangan bagi warga dan tuntunan dalam upaya melestarikan dan menjaga kemurnian Ajaran Kerokhanian Sapta Darma.

 BAB. II
PERKEMBANGAN AJARAN
AGAMA SAPTA DARMA
(1956 S/D 1960)

Ajaran Agama Sapta Darma merupakan wahyu yang diterima dari Hyang Maha Kuasa oleh Bapak Hardjosopoero dan bukan merupakan ajaran racikan. Untuk memberikan gambaran tentang Ajaran Agama  Sapta Darma, maka berikut diuraikan : (1) Riwayat hidup penerima wahyu, (2) Masa pertapaan, (3) Masa penyebaran, (4) Masa pendalaman.

2.1. RIWAYAT  HIDUP PENERIMA WAHYU          
2.1.1. RIWAYAT HIDUP BAPAK HARDJOSOPOERO YANG BERGELAR PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA
2.1.1.1. Nama
Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, nama asli masa kecilnya Sopoero, setelah nikah, nama selengkapnya menjadi Hardjosopoero, kemudian nama Sri Gutama adalah nama sebagai Panuntun Agung Agama Sapta Darma, yang dianugerahkan oleh Hyang Maha Kuasa pada tanggal 27 Desember 1955.
2.1.1.2. Tempat dan Tanggal Lahir
Bapak Hardjosopoero yang bergelar Panuntun Agung Sri Gutama dilahirkan di Desa Pare, Kec. Pare, Kab. Kediri, Prop. Jawa Timur, Indonesia, tanggal 27 Desember 1914.
2.1.1.3. Jenis Kelamin
Bapak Sopoero adalah seorang putra, anak yang pertama dari pasangan suami isteri, Bapak Soehardjo dan Ibu Soelijah. Mempunyai adik kandung seorang putri bernama Jatinah. Bapak Soehardjo (almarhum) adalah mantan pegawai Kantor Pos dan Telepon, Kawedanan Pare, Kabupaten Pare, Jawa Timur, Indonesia.
2.1.1.4. Pekerjaan
Bapak Hardjosopoero bekerja wiraswasta sebagai tukang cukur, disamping usaha lain di bidang perdagangan.
2.1.1.5. Alamat
Alamat dan tempat tinggal Bapak Hardjosopoero di Desa Pare, Kec. Pare, Kab. Kediri, Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Sedangkan Bapak Hardjosopoero selaku Panuntun Agung Agama Sapta Darma, dalam melaksanakan tugas Peruwatan dan Penyebaran Agama Sapta Darma, beliau membangun sebuah sanggar (tempat pertapaan) yang diberi nama “Sanggar Candi Sapta Rengga”, Surokarsan MG.I/164 dulu dan sekarang Surokarsan MG.II/472 Yogyakarta, beliau di sana mulai pertengahan tahun 1960 s/d pertengahan tahun 1964.
2.1.1.6. Pendidikan
Bapak Soehardjo ayah dari Sopoero pada tahun 1915 meninggal dunia. Karenanya Ibu Soelijah menjadi janda muda dan sedang mengandung, beserta anak sulungnya Sopoero yang baru berumur lebih kurang 1 (satu) tahun, diasuh oleh Kakek dan Neneknya yang bernama Kartodinomo. Pada tahun 1920 anak yang bernama Sopoero dimasukkan sekolah pada Sekolah Dasar dan tamat pada tahun 1925. Setelah tamat sekolah, karena kakeknya meninggal dunia terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan harus berusaha membantu Ibu dan Neneknya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
2.1.1.7. Orang Tua
Bapak Soehardjo dan Ibu Soelijah.
2.1.1.8. Jumlah Keluarga
Pada tahun 1939 remaja Sopoero yang telah berusia 25 tahun melaksanakan perkawinan dengan Nona Sarijem, dengan mendapat nama dewasa Hardjosopoero. Bapak Hardjosopoero dengan Ibu Sarijem mendapatkan 7 orang putra yakni sebagai berikut :
1) Sardjana (putra) lahir pada tahun 1940 di Pare.
2) Sardjani (putra) lahir pada tahun 1942 di Pare.
3) Surip alias Harini (putri) lahir pada tahun 1945 di Pare.
4) Suwito (putra) lahir pada tahun 1947 di Pare.
5) Surono (putra) lahir pada tahun 1949 di Pare.
6) Sudjaka (putra) lahir pada tahun 1952 di Pare.
7) Purboyo (putra) lahir pada tahun 1956 di Pare.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga sebanyak 7 orang itu, bekerja sebagai wiraswasta, utamanya menjadi Tukang Cukur, di samping itu juga sebagai pedagang kecil, jual beli emas, berlian dan lain sebagainya. Bapak Hardjosopoero seorang yang suka berusaha. Beliau juga punya pengalaman kerja di bidang industri kecil sebagai Tukang Blangkon, sedang Ibu Sarijem disuruh membantu usaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berjualan bunga. Namun setelah Bapak Hardjosopoero menerima Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma dan bergelar Panuntun Agung Sri Gutama, maka beliau tidak dapat lagi bekerja sebagai tukang cukur, pedagang kecil dan sebagainya karena beliau harus melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa, yaitu untuk menerima Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma selengkapnya dan menyebarkannya. Oleh karena itu mulai tanggal 27 Desember 1952 praktis Ibu Sarijem berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, sampai akhir hayatnya.  
2.1.1.9  Pengalaman Perjuangan
Sejak pukulan penjajahan Belanda, Bapak Hardjosopoero sudah gemar mengikuti kegiatan Perkumpulan dan Perjuangan Rakyat. Pada 1937 aktif mengikuti kegiatan oganisasi Kepanduan Surya Wirawan, dan juga menjadi anggota PARINDRA (Partai Indonesia Raya) yang dipimpin oleh Saudara Kasran, di Pare, Kediri. Tetapi akhirnya PARINDRA dibubarkan oleh Pemerintah Belanda, karena dianggap berbahaya bagi Pemerintah Belanda.
Kemudian di Pare Kediri, berdirilah PARTINDO (Partai Indonesia) yang dipimpin oleh Bapak Danumihardjo seorang Mantri Guru Taman Siswa. Tidak mau ketinggalan, beliau Bapak Hardjosopoero masuk menjadi anggota PARTINDO pada tahun 1945.
Dalam perjuangan Perang Kemerdekaan ke II, dimana pemerintahan untuk sementara  dipegang oleh militer, dan karenanya berdirilah KODM (Komando Onder Distrik Militer) atau PMKT (Pemerintah Militer Kecamatan) pada tahun 1948 s/d 1949. Bapak Hardjosopoero tidak tinggal diam, tetapi ikut aktif di dalam Formasi ODM di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, di bawah komando Komandan Letnan Darmon. Dengan berdirinya Negara RIS (Republik Indonesia Serikat), dimana seluruh anggota Laskar Perjuangan harus kembali ke induknya masing-masing, maka Bapak Hardjosopoero juga kembali ke pos-nya semula, yaitu ke masyarakat.
2.1.1.10. Perjuangan Hidup
Pada tanggal 27 Desember 1952, sejak menerima Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma sampai dengan selengkapnya dan Wahyu Nama Sri Gutama sebagai Panuntun Agung Agama Sapta Darma, serta Wahyu Penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma, maka Panuntun Agung Sri Gutama mutlak sepenuhnya melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa.
Telah digariskan oleh Allah Hyang Maha Kuasa bahwa masa tugas beliau adalah 12 (dua belas) tahun, dan setelah itu harus kembali ke Pengimanan. Dengan kembalinya Bapa Panuntun Agung Sri Gutama (Bapak Hardjosopoero) ke Pengimanan Langgeng, maka berakhirlah tugas hidup beliau, Bapak Hardjosopoero di dunia fana ini, yang tepatnya beliau meninggal dunia pada hari Rabu Pahing, tanggal 16 Desember 1964, pukul 12.10 WIB di Pare, Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Tugas dan perjuangan beliau diteruskan oleh Ibu Sri Pawenang dan seluruh Warga Sapta Darma dimanapun berada, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, aman dan sejahtera yang berdasarkan Pancasila khususnya bagi Bangsa Indonesia, serta perdamaian dunia yang didambakan oleh seluruh umat manusia.
 
Pada tanggal 27 Desember 1952 pukul 07.00 WIB sampailah Bapak Hardjosopoero di rumah Bapak Djojodjaimoen, kemudian langsung diceritakan pengalaman yang aneh semalam itu. Semula Bapak Djojodjaimoen tidak percaya terhadap apa yang telah diceritakan beliau. Akan tetapi secara tiba-tiba seluruh badan Bapak Djojodjaimoen tergetar dan bergerak dengan sendirinya seperti halnya yang pernah dialami Bapak Hardjosopoero. Setelah Bapak Djojodjaimoen selesai mengalami sujud diluar kemauannya tadi, keduanya mempunyai niat untuk datang kepada sahabatnya yaitu Bapak Kemi Handini, seorang sopir di Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, dengan harapan akan mendapat penjelasan serta nasehat-nasehatnya.
Pada tanggal 28 Desember 1952 pukul 17.00 WIB mereka berdua telah sampai di rumah Bapak Kemi Handini, dan segera diceritakan peristiwa yang telah dialaminya. Belum sampai selesai ceritanya, tiba-tiba ketiga orang tersebut badannya terasa tergetar dan bergerak dengan sendirinya melakukan sujud di luar kemauan sendiri. Di dalam gerak sujud bersama, tiba-tiba Bapak Hardjosopoero melihat dengan terang gambar-gambar tumbal di tempat tertentu  yang ditanam di rumah Bapak Kemi Handini. Setelah gerak sujud selesai, lalu diceritakan hal itu kepada Bapak Kemi Handini segala apa yang diketahui didalam gerak sujud. Mendengar keterangan Bapak Hardjosopoero kedua orang itu merasa heran, karena apa yang diceritakan Bapak Hardjosopoero adalah benar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mereka bertiga telah sepakat bulat untuk menemui sahabatnya yaitu Bapak Somogiman seorang pengusaha angkutan di Kampung Plongko, Kecamatan Pare, yang mengerti dalam hal kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan.
Pada tanggal 29 Desember 1952 pukul 17.00 WIB, mereka bertiga telah sampai di rumah Bapak Somogiman dan disitu ternyata telah berkumpul banyak kawannya. Oleh Bapak Hardjosopoero dipaparkan pengalaman-pengalaman gaib yang pernah dialami oleh ketiga orang selama ini. Pada waktu itu Bapak Somogiman tidak memberikan tanggapan yang baik dan seolah-olah tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Bapak Hardjosopoero. Akan tetapi apa yang terjadi? Secara tiba-tiba Bapak Somogiman badannya tergerak dengan sendirinya di luar kemauan, seperti yang pernah dialami oleh Bapak Hardjosopoero dengan para sahabatnya tersebut. Semenjak hari itu tersiarlah berita dari mulut ke mulut tentang peristiwa gaib di kota Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Tersiarnya berita tentang peristiwa gaib di Kota Pare itu, terdengar oleh Bapak Darmo seorang sopir dan Bapak Rekso Kasirin seorang pengusaha batik, yang kemudian kedua orang tersebut berusaha mendatangi rumah Bapak Somogiman dengan maksud untuk membuktikan dari dekat kebenaran tentang berita peristiwa gaib tersebut. Setelah mereka datang disana belum sampai mendengarkan ceritanya, tiba-tiba badan Bapak Darmo dan Bapak Rekso Kasirin tergerak sujud kepada Hyang Maha Kuasa diluar kemauannya.
Pada saat kedua orang itu tergerak sujud, maka secara serentak teman-temannya yaitu Bapak Hardjosopoero, Bapak Somogiman, Bapak Kemi Handini, Bapak Djojodjaimoen, tergerak pula bersama-sama sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Setelah keenam saudara tersebut selesai menjalankan sujud, mereka lalu pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali Bapak Hardjosopoero yang tidak mau pulang, karena takut kalau mendapat gerakan-gerakan sendiri di rumahnya. Hampir dua bulan lamanya Bapak Hardjosopoero tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, melainkan tinggal berpindah-pindah di rumah kawan-kawannya. Mereka berenam berniat bulat selalu dapat berkumpul pada setiap malam.
Pada suatu malam tanggal 12 menjelang 13 Pebruari 1953, setelah keenam saudara tersebut berkumpul, beliau menerima suara / petunjuk rasa agar Bapak Hardjosopoero segera pulang ke rumahnya sendiri, karena akan menerima lagi ajaran yang lebih tinggi langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa.
Close up wajah Bapak Hardjosopoero,  gambar disamping adalah Bapak Hardjosopoero bergambar bersama dengan sahabat-sahabatnya : sebelah kirinya adalah Bapak Kemi, dan sebelah kanannya adalah Bapak Djojodjaimun sebagai saksi-saksi dalam penerimaan ajaran-ajaran tersebut diatas 
2.2.3. PENERIMAAN WAHYU RACUT
Berdasarkan perintah Allah Hyang Maha Kuasa yang diterima oleh Bapak Hardjosopoero, agar beliau segera kembali ke rumahnya sendiri karena akan menerima ajaran yang lebih tinggi lagi, maka pada tanggal 13 Pebruari 1953 pagi hari telah berkumpul di rumah Bapak Hardjosopoero yaitu :
1.      Bapak Hardjosopoero            4.    Bapak Somogiman
2.      Bapak Djojodjaimoen             5.    Bapak Darmo
3.      Bapak Kemi Handini              6.    Bapak Rekso Kasirin
Tepatnya pada tanggal 13 Pebruari 1953 pukul 10.00 WIB, mereka sedang asyiknya bercakap-cakap tiba-tiba Bapak Hardjosopoero dengan suara keras berkata dalam Bahasa Jawa :
“Kanca-kanca delengen aku arep mati, amat-amat ana aku.”
Terjemahan bebasnya :
“KAWAN-KAWAN LIHATLAH AKU AKAN MATI, AMAT-AMATILAH AKU.”
Sambil berkata demikian Bapak Hardjosopoero lalu berbaring terlentang membujur ke timur sambil memejamkan  matanya, serta dalam keadaan tangannya bersidakep, persis bagaikan sikapnya orang mati.
Mendengar kata-kata Bapak Hardjosopoero dengan suara keras yang dibarengi dengan suatu tindakan nyata berbaring  membujur ke arah timur seperti tersebut di atas, maka dengan rasa sangat terharu dan dengan hati berdebar-debar semua kawan-kawannya segera menempatkan diri, masing-masing di samping terbaringnya Bapak Hardjosopoero.
Dalam keadaan rasa khawatir kalau sampai terjadi sungguh-sungguh akan kematian Bapak Hardjosopoero, maka dalam mengamati beliau mereka menggunakan caranya sendiri-sendiri. Ada yang mencoba meraba-raba seluruh tubuh beliau, ada yang menempelkan telinganya pada dada beliau  dan ada pula yang mencoba dengan menggunakan asap rokok pada hidung beliau. Tindakan para sahabatnya yang demikian itu hanya semata-mata untuk meyakini tentang keadaan beliau, sudah atau belumkah terjadi kematian Bapak Hardjosopoero
Setelah peristiwa ini berlangsung lebih kurang setengah jam lamanya, maka tiba-tiba terbangunlah beliau yang kemudian bersabda kepada para sahabat yang masih tekun menunggunya :

“INILAH YANG NAMANYA RACUT, MATI DALAM HIDUP”

Kemudian diceritakanlah semua pengalamannya selama melakukan tugas untuk mati, yang lengkapnya seperti berikut :
Dalam melakukan tugas mati yang disebut racut tadi, Bapak Hardjosopoero merasa rohaninya keluar dari wadagnya dan naik ke atas melalui alam yang enak sekali, Alam Langgeng. Kemudian sampailah beliau di sebuah rumah besar yang sangat indah sekali. Di dalam rumah yang besar dan indah itu, terlihat orang yang bersinar laksana Maha Raja, sehingga badan dan mukanya tidak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Di situ Bapak Hardjosopoero duduk bersila
Selesai melakukan sujud kepada Hyang Maha Kuasa, Bapak Hardjosopoero lalu dibopong oleh orang yang bersinar tadi, kemudian diayun beberapa kali. Selanjutnya Bapak Hardjosopoero digandeng menuju ke taman yang penuh bunga dan indah sekali pemandangannya. Dari situ dibawa ke sebuah sumur yang penuh air bersih sampai tumpah airnya. Kemudian dibawa ke sumur yang kedua, Bapak Hardjosopoero disuruh membukanya dan ternyata sumur yang keduapun penuh air yang jernih sekali. Kedua sumur tersebut namanya Sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda.
Setelah itu kembali ke rumah yang sangat besar dan indah tadi, bersabdalah orang yang bersinar tersebut kepada Bapak Hardjosopoero “INILAH UNTUKMU” sambil menyodorkan dua bilah keris pusaka. Yang satu wujudnya besar dengan rangka polokan Mataraman dan yang lain pada pamornya terdapat bentuk benda bulat berjajar bagaikan Bendo Segodo. Dua bilah keris pusaka tersebut bernama Nogososro dan Bendo Segodo.
Seusai menerima dua bilah keris pusaka tersebut maka Bapak Hardjosopoero disuruh kembali. Dalam perjalanan kembali, Bapak Hardjosopoero merasa diikuti oleh sebuah bintang yang besar dan bersinar terang yang seakan-akan mengantar perjalanan pulang Bapak Hardjosopoero. Demikianlah cerita pengalaman perjalanan dalam racut Bapak Hardjosopoero kepada para sahabatnya yang senantiasa tekun menunggui peristiwa yang bersejarah itu.


Untuk meyakinkan tentang kebenaran Ajaran Racut yang diterima oleh Bapak Hardjosopoero tersebut, maka kepada para sahabat dimintanya satu demi satu secara bergantian melakukannya juga, mati di dalam hidup (racut).
Pelaksanaan racut bagi semua sahabatnya ditunggui pula oleh Bapak Hardjosopoero. Pengalaman para sahabatnya dalam perjalanan racut masing-masing tidak ada yang sama. Namun dalam hal-hal yang pokok adalah sama, misalnya melalui alam yang enak sekali, sampailah pada sebuah rumah yang besar dan indah pemandangannya dan mengetahui pula orang yang bersinar bagaikan Maha Raja. Tetapi tak seorang pun diantara para sahabat yang melakukan sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa di rumah besar itu. Pemberian yang diterima dari orang yang bersinar bagi para sahabat ada yang berbentuk bunga dalam vas, ada yang berupa pakaian dan ada pula yang tidak diberi apapun. Namun kesemuanya itu telah meyakinkan para sahabat akan kebenaran yang telah dilakukan oleh Bapak Hardjosopoero.
Sejak diterimanya Wahyu Racut semua sahabat harus berkumpul di rumah Bapak Hardjosopoero, dan tidak boleh berkumpul sujud di rumah sahabat yang lain. Dengan demikian setiap malam hari para sahabat selalu berkumpul di rumah Bapak Hardjosopoero untuk melaksanakan sujud bersama. Di samping itu juga latihan-latihan racut yang dilakukan oleh seluruh sahabat.
Perlu dijelaskan di sini bahwa pada suatu waktu Bapak Hardjosopoero dalam melaksanakan sujud bersama dilakukannya pula racut seperti yang pernah dialami pada waktu-waktu yang lalu. Ternyata dalam melakukan racut Bapak Hardjosopoero selalu dapat berjumpa dengan sang Maha Raja, bahkan Bapak Hardjosopoero diberi juga Kotang Ontokusumo dan Caping Basunondo. Pernah diterima pula dari sang Maha Raja, Bongkok (tangkai daun kelapa, papah blarak : Jawa), Satu Panah dan Buku Besar. Sewaktu-waktu Bapak Hardjosopoero dengan mudah dapat melakukan racut, sehingga apapun yang dikerjakan oleh Bapak Hardjosopoero adalah suatu petunjuk yang benar dari Allah Hyang Maha Kuasa.

2.2.4 PENERIMAAN WAHYU SIMBUL PRIBADI MANUSIA, WEWARAH TUJUH DAN SESANTI (12 JULI 1954)
Pada tanggal 12 Juli 1954 pukul 11.00 WIB, Bapak Hardjosopoero telah kedatangan empat orang tamu, yaitu Bapak Sersan Diman, Bapak Djojosadji, Bapak Danoemihardjo (seorang mantri guru Taman Siswa, Pare, Kediri) dan Bapak Marto.
Sewaktu mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba di atas meja tamu secara perlahan-lahan tampak pemandangan sebuah gambar yang bercahaya, makin lama makin jelas, tetapi sebentar kelihatan sebentar lagi menghilang. Pada waktu pemandangan gambar simbul kelihatan jelas lagi di atas meja tamu, maka dengan tiba-tiba Bapak Sersan Diman berdiri tegak dengan menunjuk ke arah gambar sambil berkata keras berulang kali :
“INI HARUS DIGAMBAR, INI HARUS DIGAMBAR………”

Salah satu diantara kawan-kawannya segera pergi ke toko untuk membeli alat-alat gambar berupa kain putih (mori), cat dan kuas. Setelah memperoleh alat-alat tersebut, Bapak Hardjosopoero segera mulai melukis gambar simbul tersebut. Pada waktu asyik menggambar tiba-tiba gambar menghilang sekejap dan terhentilah menggambarnya, setelah kelihatan kembali diteruskanlah menggambar sampai selesai. Pada saat itu pemandangan gambar simbul tersebut tidak hanya kelihatan di atas meja tamu saja, melainkan tampak pula memenuhi dinding rumah Bapak Hardjosopoero. Pemandangan gambar simbul pada dinding rumah itupun sebentar kelihatan sebentar menghilang, sehingga para tetangga dekat sekitarnya yang menyaksikan timbul rasa heran dan dalam hati bertanya-tanya hiasan apa itu dan apa maksudnya?


Gambar ini bernama Simbul Pribadi Manusia yang bertuliskan huruf Jawa  (Sapta Darma) dan (Nafsu, Budi, Pakarti). Anehnya setelah gambar simbul selesai digambar kemudian menghilang dari pandangan mata untuk seterusnya.

Pada hari itu juga tanggal 12 Juli 1954, setelah diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, diterima pula Wahyu Wewarah Tujuh. Peristiwanya sama dengan penerimaan Wahyu Simbul Pribadi Manusia. Bedanya ialah terletak pada bentuknya. Wahyu Wewarah Tujuh berupa tulisan yang kalimat demi kalimat terlihat, ada yang di dinding rumah bagian dalam, ada yang di lantai, ada yang jatuh ke dada Bapak Hardjosopoero dan ada pula yang jatuh di atas meja. Merupakan tulis tanpa papan atau Sastra Jendra Hayuningrat.

Tulisan itu menggunakan huruf latin, tetapi Bahasanya Jawa. Oleh karena tulisan tersebut sebentar kelihatan dan sebentar menghilang seperti halnya pemandangan gambar Simbul Pribadi Manusia, maka pada waktu tulisan kelihatan kembali segera dibagikan tugas penulisannya. Bapak Sersan Diman menulis angka 1 s/d 4, sedang Bapak Danoemihardjo menulis angka 5 s/d 7.
Setelah Bapak Sersan Diman dan Bapak Danoemihardjo selesai menulisnya, maka pengamatan penelitiannya diserahkan kepada Bapak Hardjosopoero, Bapak Djojosadji, dan Bapak Marto termasuk pula Bapak Sersan Diman dan Bapak Danoemihardjo untuk mencocokkan dengan tulisan aslinya yang merupakan tulis tanpa papan secara cermat. Kemudian setelah tulisan tersebut sudah cocok dengan aslinya, maka tulisan aslinya (tulis tanpa papan) hilang dari pandangan untuk seterusnya.
Adapun Wahyu Wewarah Tujuh tersebut selengkapnya sebagai berikut :

WEWARAH PITU

Wadjibing Warga Sapta Darma
Saben Warga kudu netepi wadjib 
1) Setija tuhu marang anane Pantjasila.
2) Kanthi djudjur lan sutjining ati kudu setija anindakake angger-angger ing Negarane.
3) Melu tjawe-tjawe atjantjut tali wanda andjaga adeging Nusa lan Bangsane.
4) Tetulung marang sapa bae jen perlu, kanthi ora nduweni pamrih apa bae kadjaba mung rasa welas lan asih.
5) Wani urip kanthi kapitajan saka kekuwatane dewe.
6) Tanduke marang warga bebrajan kudu susila kanthi alusing budi pakarti tansah agawe pepadang lan mareming lijan.
7) Jakin jen kahanan donja iku ora langgeng tansah owah gingsir (hanjakra manggilingan).

Demikianlah bunyi Wewarah Tujuh yang diterima pada tanggal 12 Juli 1954, setelah diterima Simbul Pribadi Manusia.

Setelah diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia dan Wewarah Tujuh, pada hari itu juga masih diterima lagi Wahyu Sesanti yang bunyi selengkapnya seperti berikut :

SESANTI
Ing Ngendi Bae, Marang Aapa Bae
Warga Sapta Darma
Kudu Sumunar Pindha Baskara.


Dengan telah diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti oleh seorang putra Bangsa Indonesia dari Allah Hyang Maha Kuasa, penerimaan ajaran ini semakin menjadi terang benderang, bagaikan suasana di waktu pagi hari terkena sinar surya yang baru terbit di sebelah timur, meliputi seluruh isi alam semesta, baik manusia maupun tumbuh-tumbuhan dan hewan. Semua mendapatkan sinar sang surya untuk mengembangkan hidupnya.
Sejak hari itu baru dimengerti bahwa sujud yang dilaksanakan oleh  Bapak Hardjosopoero dan para sahabatnya, sebagai perilaku pendekatan pribadi (hidup) manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa, adalah Sujud Sapta Darma.
Keyakinan semakin mendalam bagi Bapak Hardjosopoero dan sahabat-sahabatnya, setelah diterimanya Wahyu Ajaran  Agama Sapta Darma bertambah lengkap, antara lain:
1)  Wahyu Sujud adalah tata cara ritual, manusia sujud kepada Tuhannya (Allah Hyang Maha Kuasa) bagi Warga Sapta Darma.
2) Wahyu Racut merupakan perilaku tata rohani manusia untuk mengetahui Alam Langgeng, melatih sowan / menghadap Hyang Maha Kuasa.
3) Wahyu Simbul Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat, watak dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsunya agar dapat mencapai keluhuran budi sesuai dengan petunjuk dalam tulisan “Nafsu, Budi, Pakarti” yang tertera pada dasar hijau maya.
4)  Ajaran Wewarah Tujuh merupakan kewajiban, pandangan dan pedoman hidup manusia sebagai makhluk individu dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Negara dan Bangsa, sesama umat, dirinya sendiri, serta alam sekitar /  lingkungannya.
5) Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan suatu etika / ciri khas Ajaran Agama Sapta Darma yang menitikberatkan kepada warganya harus bermakna dan berguna bagi sesama umat. Dengan Ajaran Agama Sapta Darma yang telah dikuasai dan diyakini, mendorong pribadi mereka masing-masing selalu dapat berkumpul setiap malam di rumah Bapak Hardjosopoero untuk mengadakan sujud bersama kepada Allah Hyang Maha Kuasa.

2.2.5. PENERIMAAN WAHYU ISTILAH TUNTUNAN DAN ISTILAH SANGGAR (15 OKTOBER 1954)
Dalam suatu pasujudan bersama malam hari  di rumah Bapak Hardjosopoero pada tanggal 15 Oktober 1954 telah diterima lagi perintah Allah Hyang Maha Kuasa, agar Bapak Hardjosopoero menunjuk Bapak Parto Sarpan sebagai Tuntunan Sanggar Pare, Kediri. Sejak itu dikenal istilah Tuntunan dan Sanggar yang merupakan ciri khas Ajaran Agama Sapta Darma.
Tuntunan adalah seseorang yang membawakan tugas Allah Hyang Maha Kuasa untuk menuntuni sujud calon Warga Sapta Darma. Sedangkan sanggar adalah tempat pasujudan bersama.
MAKNA DAN ARTI KATA
1)  Kata tuntunan dari kata dasar tuntun, kata tuntun dilakukan dua orang atau lebih, baik anak-anak maupun golongan manula yang bergandengan tangan dalam perjalanan menuju suatu tempat / tujuan yang sama (menuju kebahagiaan dan kemuliaan hidup di dunia sampai dengan hidup di alam langgeng). Kata tuntun juga dipergunakan untuk menuntun hewan peliharaan dalam perjalanan menuju suatu tujuan, misalnya menuju ladang penggembalaan. Oleh karena itu kata tuntunan di kalangan Warga Sapta Darma mengandung makna yang sama, bahkan lebih dari itu kata tuntunan juga mengandung unsur-unsur sifat kepamongan / pamong / penggembala. Dengan demikian kata tuntunan harus dilaksanakan tun tinuntun (bimbing membimbing), among kinemong (saling asah, asih, asuh). Agar tujuan mencapai keluhuran dapat diwujudkan secara bersama.
2)  Kata sanggar bagi Warga Sapta Darma adalah tempat (bangunan) yang dipergunakan untuk sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan penghayatan dan pendalaman ajaran.
2.2.6. PENERIMAAN WAHYU SAUDARA DUA BELAS (27 DESEMBER 1954)
Pada tanggal 27 Desember 1954 merupakan hari ulang tahun ke dua diterimanya Wahyu Sujud. Pada hari ulang tahun tersebut, sebagaimana biasa para Warga Sapta Darma berkumpul di sanggar /  rumah Bapak Hardjosopoero, untuk mengadakan sujud bersama dalam rangka mengenang hari yang bersejarah itu. Setelah sujud bersama selesai, dilanjutkan dengan wawancara antara Bapak Hardjosopoero dengan para warga yang hadir.
Sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba Bapak Hardjosopoero menerima getaran dan bergeraklah badan beliau dengan menyatukan kedua belah telapak tangan di depan dada (sikap sembahan), yang kemudian kedua tangannya bergerak menuju ke ubun-ubun, menurun ke dahi, terus ke pundak kiri ke tonjolan ujung tulang belakang bagian atas  (punuk), pindah ke pundak kanan, terus ke dada kiri, dada tengah, dada kanan, terus ke pusat (puser) perut, terus ke lambung kanan kiri (lempeng kiwo tengen) terus ke tulang ekor, dan kemudian kedua tangannya berpisah, lalu bergerak dan bergetar terus rasanya menuju pada ujung-ujung jari kedua belah tangannya.
Setelah Bapak Hardjosopoero gerakannya terhenti, merasa bingung tidak mengerti apa yang dimaksud dengan adanya gerakan tangan tersebut. Kemudian beliau memerintahkan kepada semua warga agar melakukan sujud bersama untuk maneges / mohon penjelasan kepada Allah Hyang Maha Kuasa, apa maksud gerakan yang terjadi pada dirinya.
            Dalam sujud bersama yang kemudian dilanjutkan dengan ening, beliau mendapatkan petunjuk dari Allah Hyang Maha Kuasa, bahwa gerakan tersebut menunjukkan tempat serta adanya Saudara Dua Belas.

Setelah sujud berakhir, lalu dijelaskan bahwa gerakan tersebut merupakan petunjuk dari Allah Hyang Maha Kuasa tentang adanya Saudara Dua Belas yang terdapat dalam tubuh manusia. Adapun gerakan yang menunjukkan tadi adalah geraknya Nur Rasa atau Baginda Kilir.  
      2.2.7. PENERIMAAN WAHYU TALI RASA DAN WASIAT TIGA PULUH TIGA

2.2.7.1. PENERIMAAN WAHYU TALI RASA (13 PEBRUARI 1955)

Setelah diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti, baru dapat dimengerti dan menjadi lebih jelaslah bagi para warganya, sehingga lebih meyakinkan bahwa hal-hal yang telah dilaksanakan pada hari-hari yang lalu merupakan tindakan budi luhur yang dituntuni langsung oleh Allah Hyang Maha Kuasa dengan nama “Ajaran Agama Sapta Darma”.
Telah menjadi kebulatan tekad para sahabatnya, agar setiap malam senantiasa dapat berkumpul dan sujud bersama untuk mendapatkan tuntunan dan petunjuk lebih lanjut dari Allah Hyang Maha Kuasa.
           Pada suatu pertemuan dalam rangka mengenang hari penerimaan Wahyu Racut, tepatnya pada tanggal 13 Pebruari 1955, Bapak Hardjosopoero dengan segenap warga yang ada mengadakan sujud bersama di sanggar / rumah Bapak Hardjosopoero. Sesudah sujud dilanjutkan dengan ening. Dalam kondisi ening tersebut beliau mendapatkan wahyu, yaitu suatu pemandangan dengan jelas sekali tentang gambar orang lengkap dengan abjad (carakan) aksara Jawa yang terletak di tempat-tempat tertentu pada seluruh tubuh. Huruf selengkapnya ialah :
                            

Aksara Jawa tersebut adalah petunjuk tempat tali rasa, yaitu simpul yang merupakan sentral rasa setempat di seluruh tubuh manusia yang jumlahnya ada 20 (dua puluh). Inilah yang dinamakan Tali Rasa.   

2.2.7.2. PENERIMAAN WAHYU WASIAT TIGA PULUH TIGA (13 PEBRUARI 1955)
Sujudan yang pertama dalam rangka memperingati Wahyu Racut yang kedua tanggal 13 Pebruari 1955 diterima Wahyu Tali Rasa, yaitu sentral rasa setempat pada tubuh manusia yang berjumlah 20 (dua puluh) yang ditunjukkan abjad (carakan) aksara Jawa.
         Pada malam itu juga dalam sujud yang terakhir diterima pula wahyu, yaitu Wasiat Tiga Puluh Tiga. Seperti halnya pada waktu menerima Wahyu Tali Rasa, Bapak Hardjosopoero menerima wasiat tiga puluh tiga jumlahnya.

2.2.8. PENERIMAAN WAHYU WEJANGAN DUA BELAS (12 JULI 1955)
Pada tanggal 12 Juli 1955 setelah para Warga Sapta Darma berkumpul di sanggar / rumah Bapak Hardjosopoero, lalu diadakan sujud bersama dalam rangka memperingati hari diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti. Dalam sujud bersama yang dilanjutkan dengan ening Bapak Hardjosopoero mendapat perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa, supaya menyampaikan Wejangan Dua Belas, sebagai penjelasan bahwa Ajaran Budi Luhur Manusia telah lengkap dan bilamana diajarkan sudah dapat mencapai Jejering Satria Utama.
Setelah selesai sujud bersama, maka beliau dengan mendapat tuntunan langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa menyampaikan Wejangan Dua Belas kepada para warga.

2.2.9. PENERIMAAN WAHYU NAMA SRI GUTAMA DAN AGAMA SAPTA DARMA
2.2.9.1.  PENERIMAAN WAHYU NAMA SRI GUTAMA (27 DESEMBER 1955)
Sebelum tanggal 27 Desember 1955 gelar Bapak Hardjosopoero senantiasa berubah-ubah, demikian pula nama sujudnya. Secara berurutan sebagai berikut :
1)      Pada waktu menerima nama Brahma sujudnya disebut Sujud Brahma.
2)      Pada waktu berganti nama Resi Brahma disebut Sujud Resi Brahma.
3)      Pada waktu berganti nama Brahmana disebut Sujud Brahmana.
4)      Pada waktu berganti nama Resi Brahmana disebut Sujud Resi Brahmana.
5)      Pada waktu berganti nama Pandita disebut Sujud Pandita.
6)     Pada waktu berganti nama Raja Pandita disebut Sujud Raja Pandita
      Dalam hal ini penerima nama Raja Pandita minta kepada semua warga supaya memandang pada kedua telapak tangan Raja Pandita (Bapak Hardjosopoero), di mana pada telapak tangan Raja Pandita tersebut terdapat tulis tanpa papan yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat. Apa yang terlihat di telapak tangan Raja Pandita adalah wejangan sebagai dasar untuk mencapai keluhuran (gegayuhan luhur : Jawa).
    Tepat pada tanggal 27 Desember 1955 dalam rangka memperingati diterimanya Wahyu Sujud, para warga berkumpul di rumah Sdr. Tan Swie Hiang di Jl. Lawu No.1 Pare, Kediri, Jawa Timur yang dihadiri oleh warga diantaranya Sdr. Rabun Sutrisno Letnan PDM Blitar, Sdr. Sutrisno Polisi Perintis, Sdr. Kasdi, Sdr. Kasmuri dari Jombang dan Sdr. Tan Swie Hiang serta Bapak Hardjosopoero penerima wahyu.
    Setelah mengadakan sujud bersama yang kemudian dilanjutkan dengan ening, maka diterima wahyu lagi yang disaksikan oleh segenap warga yang hadir, Bapak Hardjosopoero dijejerkan menjadi “SRI GUTAMA PANUNTUN AGUNG”. Adapun Sri Gutama berarti pelopor budi luhur. Bersamaan dengan diterimanya wahyu tadi pada pukul 24.00 WIB ditandai hujan yang sangat lebat merupakan saksi alam. Pada waktu itu Bapak Hardjosopoero telah genap berusia 41 (empat puluh satu) tahun.
    Untuk meyakinkan peristiwa penting ini, lalu diadakan sujud bersama serta mohon petunjuk selanjutnya dari Allah Hyang Maha Kuasa, agar senantiasa mendapatkan tuntunan dan sinar-sinarNya.  
      
2.2.9.2. PENERIMAAN WAHYU AGAMA SAPTA DARMA (27 DESEMBER 1955)
     Pada malam yang sama dalam mengenang hari bersejarah saat diterimanya Wahyu Sujud, tepatnya pada malam tanggal 27 Desember 1955 Bapak Hardjosopoero dijejerkan menjadi Panuntun Agung Sri Gutama. Kemudian beliau bersama-sama dengan segenap warga mengadakan sujud bersama dilanjutkan dengan ening, sedangkan Bapa Panuntun Agung Sri Gutama lalu melakukan racut untuk mendapatkan petunjuk langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa. Dalam melakukan racut tersebut Bapa Panuntun Agung Sri Gutama menerima suara petunjuk rasa tentang sebutan Agama  bagi Ajaran  Sapta Darma, sehingga nama Sapta Darma lengkap menjadi “AGAMA  SAPTA DARMA”.
     Oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dijelaskan, bahwa istilah Agama bagi Sapta Darma mempunyai pengertian yang khusus sebagai berikut :
A () = pengertiannya Asal Mula Manusia.
GA () = pengertiannya Gama atau Kama (air suci)
MA ( ) = pengertiannya Maya atau Sinar Cahaya Allah.
      Jadi definisi Agama menurut Sapta Darma adalah asal mula manusia dari Kama dan Maya. Agama Sapta Darma dengan seluruh ajarannya merupakan ajaran Ketuhanan yang berisikan nilai-nilai budi luhur (spiritual), untuk memperbaiki mental dan moral manusia umumnya dan khususnya Bangsa Indonesia yang telah mengalami menurunnya mental dan merosotnya akhlak, akibat lama menjadi bangsa terjajah dan tertindas. Lagi pula sesudah adanya revolusi fisik, dengan adanya pemberontakan disana-sini menimbulkan pengenduran mental, maka diturunkanlah Ajaran Ketuhanan ini, untuk menuntun Bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya, agar kembali ke jalan Tuhan dengan cara yang praktis dan sederhana yang dapat dilaksanakan oleh umat manusia di segala lapisan masyarakat.

2.2.10. PENERIMAAN WAHYU TUGAS PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA (17 AGUSTUS 1956)
Sejak diterimanya wahyu yang pertama tentang sujud menyembah kepada Hyang Maha Kuasa pada tanggal 27 Desember 1952 sampai dengan diterimanya Wahyu Nama Sri Gutama sebagai Panuntun Agung Agama Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1955, sudah lengkaplah penerimaan wahyu ajaran tersebut selama Masa Pertapaan.
  Selama tahun 1956, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pada setiap waktu sujud dan dilanjutkan dengan racut, berulang-ulang mendapat perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa agar menyebarluaskan Ajaran Agama  Sapta Darma kepada umat manusia yang memerlukan. Namun demikian Bapa Panuntun Agung Sri Gutama belum bersedia untuk melaksanakan tugas tersebut karena takut. Pengalaman pahit sering dialami oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama ketika ada perintah dari Hyang Maha Kuasa yang belum disampaikan kepada para warganya. Belum bersedianya melaksanakan tugas penyebaran tersebut dengan pertimbangan tentu akan meninggalkan keluarga, sedang putra-putranya masih kanak-kanak dan Ibunya pun harus mengasuh dan mencukupi seluruh kebutuhan kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi perekonomian keluarga yang sangat minim itulah, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama mengharapkan tercukupi kebutuhan keluarga agar dapat ditinggal melaksanakan tugas penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma yang perintahnya selalu berdatangan. Guna memenuhi kebutuhan keluarga tersebut Bapa Panuntun Agung Sri Gutama juga sering mendapat petunjuk misalnya diperintahkan :
1) Mengambil beras 1 (satu) karung di kamar belakang.
      2) Mengambil emas batangan di bawah bantal.
      3) Menggali harta karun di dua tempat.
Ternyata kesemuanya itu tidak benar sehingga menimbulkan kekecewaan, namun pada akhirnya mendapatkan pengertian bahwa semua pengalaman tersebut adalah sebagai pematangan bekal beliau dalam melaksanakan tugas berat yang harus diembannya.
Adapun pengalaman pahit lainnya disampaikan berikut ini. Pada tanggal 17 Agustus 1956 bertempat di rumah kediamannya, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama mengadakan sarasehan yang pertama dengan para Warga Sapta Darma, untuk membicarakan beberapa hal yang pernah dialami akhir-akhir ini, yaitu sebagai berikut :
1)  Pada suatu saat Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pernah didatangi oleh dua orang tak dikenal, yang kemudian dibawa ke Blitar. Di sana beliau diperintahkan harus menyebarluaskan Agama Sapta Darma. Karena adanya ancaman berat perintah inipun disanggupi, tetapi belum dilaksanakan.
2)  Datang lagi seseorang yang juga belum dikenal ke rumah Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dengan pertanyaan yang sama, sedangkan jawabannya tetap belum sanggup, sehingga tamu tersebut dengan menunjukkan kemarahan sambil menangkap burung perkutut kesayangan Bapa Panuntun Agung  yang ada dalam sangkar, kemudian kepalanya diputar dan ditarik sampai lepas, lalu bangkainya diletakkan di hadapan beliau, kemudian orang tersebut  meninggalkannya.
3)  Berselang beberapa waktu berikutnya datang lagi seorang sayang (tukang solder / patri yang keliling kampung) masuk rumah dengan membawa gunting seng dengan pertanyaan yang sama, namun Bapa Panuntun Agung tidak segera menjawab. Akhirnya gunting seng tersebut dipukulkan ke arah mulut Bapa Panuntun Agung sampai berkali-kali dan gigi beliau banyak yang tanggal. Namun Bapa Panuntun Agung tetap tidak menjawab perintah tersebut. Kemudian tukang sayang itu meninggalkannya sambil berpesan akan datang lagi untuk meminta jawaban kesanggupan melaksanakan tugas penyebaran ajaran kepada masyarakat luas. Setelah tukang sayang tidak tampak dari pandangan, Bapa Panuntun Agung meraba mulutnya, ternyata giginya banyak yang tanggal. Sedang genggaman kedua tangannya juga berlumuran darah. Peristiwa ini disaksikan oleh Bapak Sukardi (Lumajang) dan Bapak Kasdi (Pare, Kediri). Mereka melihat bahwa Bapa Panuntun Agung Sri Gutama memukuli dirinya sendiri. Setelah beliau sadar bahwa yang memukul dirinya itu adalah tangannya sendiri, akhirnya beliau merasa bimbang. Tidak akan melaksanakan perintah itu.  
4)  Beberapa hari berikutnya datang lagi tamu yang berpenampilan lebih meyakinkan dengan perawakan tinggi besar serta bertanya dengan tegas “SANGGUP ATAU TIDAK MENYEBARKAN AJARAN AGAMA SAPTA DARMA”. Namun Bapa Panuntun Agung tetap tidak sanggup dan akan dibunuh saat itu pula. Mendengar ancaman itu Bapa Panuntun Agung seraya memandang gerakan tamunya kemudian mengetahui bahwa pusaka yang ditodongkan kepada beliau, adalah salah satu pusaka yang pernah diterima pada saat Bapa Panuntun Agung racut yang pertama kalinya, adapun pusaka tersebut bernama Nagasasra, sehingga dengan melihat pusaka itu, Bapa Panuntun Agung akhirnya “SANGGUP”, maka kedua  orang tersebut terus menciumi Bapa Panuntun Agung. Tetapi Bapa Panuntun Agung masih meminta bebana (syarat) agar didalam melaksanakan tugas mengembangkan ajaran nanti:
a. Tidak akan terjadi tetesan darah.
b. Rawe-rawe rantas malang-malang putung bagi mereka yang menghalangi perkembangan Ajaran Agama Sapta Darma.
c. Sabda Usada Waras.
Ketiga syarat ini akhirnya disanggupi oleh kedua orang tamu itu. Adapun 4 kali tamu-tamu yang berbeda tersebut memiliki ciri-ciri yang sama, pada setiap bicara selalu memancarkan cahaya terutama melalui getaran suara dari mulutnya.
Kemudian Bapa Panuntun Agung Sri Gutama bertanya, bagaimana tentang pelaksanaannya, adapun jawabannya sebagai berikut :

a Setiap masuk daerah didahului mengadakan peruwatan roh-roh penasaran yang berada di tempat-tempat tertentu yang sering dipuja dan dikeramatkan oleh sementara orang-orang yang sedang diliputi kegelapan. Sedangkan tugas peruwatan ditetapkan pada 500 tempat keramat yang berada di wilayah Tanah Air Indonesia.
b. Memberikan pertolongan / penyembuhan di jalan Tuhan bagi orang (penderita sakit) yang membutuhkan, dengan Sabda Waras.
c. Menuntuni sujud bagi yang berminat menghayati ajaran ini.
d. Adapun setiap petugas diberi tambahan mukjizat serta kewaspadaan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Bapa Panuntun Agung Sri Gutama berkenan menawarkan kepada para Warga Sapta Darma, siapa-siapa yang bersedia dan sanggup ikut serta menyebarluaskan Ajaran Agama Sapta Darma kepada umat manusia yang memerlukan. Pada dasarnya semua warga bersedia dan sanggup mengemban tugas berat akan tetapi luhur itu. Selanjutnya Bapa Panuntun Agung Sri Gutama memerintahkan segenap warga yang siap mengemban tugas suci, supaya tanggal 18 Agustus 1956 berkumpul di sanggar tempat penerimaan wahyu.
Dalam menjalankan tugasnya para warga tersebut oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dibekali Sabda Pandita Wali dan Sabda Pandita Ratu, untuk menyembuhkan orang yang sakit, dan kalau perlu binatang yang sakitpun supaya diusadani / disembuhkan dengan Sabda Waras dan tidak dibenarkan menerima imbalan.
Perlu ditambahkan bahwa tugas Bapa Panuntun Agung Sri Gutama tidak hanya menyebarluaskan Ajaran Agama Sapta Darma, akan tetapi lebih dari itu. Secara umum memang dapat diketahui bahwa tugas yang diterima oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama terbatas pada bidang Ajaran Agama  Sapta Darma saja. Akan tetapi masih ada tugas lain yang tidak kalah pentingnya dengan tugas penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma, sebagaimana yang pernah dijelaskan kepada para Tuntunan Sapta Darma bahwa Bapa Panuntun Agung Sri Gutama  menerima tugas cukup berat, tetapi mulia. Tugas  sebenarnya  / selengkapnya yang diterima Panuntun Agung seperti tersebut di bawah ini :
1) Menerima Ajaran Agama Sapta Darma dari Allah Hyang Maha Kuasa.
2) Mengembangkan / menyebarkan Ajaran Agama Sapta Darma.
3) Membuat jangka alam.
4) Meruwat roh-roh penasaran, dimintakan ampun kepada Hyang Maha Kuasa agar diterima di alam langgeng di sisi Hyang Maha Kuasa. Jin, setan diminta tidak mengganggu umat manusia yang berbudi luhur.
5) Menciptakan sarjana-sarjana tanpa gelar.
Inilah tugas Bapa Panuntun Agung Sri Gutama yang sebenarnya, tugas yang sangat berat tetapi luhur dan mulia. Tugas untuk mengembalikan kepribadian manusia mempertahankan harga diri dan martabat manusia, dan mengemban tugas kemanusiaan untuk menciptakan perdamaian dunia. Dalam mengemban tugas yang amat berat ini Bapa Panuntun Agung Sri Gutama telah dibekali oleh Allah Hyang Maha Kuasa dengan mukjizat dan kewaspadaan yang luar biasa, kemudian diajarkan kepada segenap Warga Sapta Darma yang menghendaki dan mampu menerimanya. Hal ini dapat dibuktikan hingga sekarang.
Mukjizat dan kewaspadaan dari Allah Hyang Maha Kuasa yang diterima Panuntun Agung Sri Gutama dan diajarkan kepada segenap Warga Sapta Darma, dalam kenyataannya adalah sebagai berikut :
1) Mukjizat dari Allah Hyang Maha Kuasa dapat menyembuhkan penyakit apapun dengan Sabda Waras, atau disebut penyembuhan di jalan Tuhan.
2) Kewaspadaan dapat dicapai dengan ening (samadi : Jawa ) untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa.
Sebagai peristiwa terakhir yang langsung disaksikan oleh lebih banyak warga saat sarasehan yang pertama diselenggarakan, pada tanggal 17 Agustus 1956 Bapa Panuntun Agung Sri Gutama mengundang warga berkumpul di sanggar / rumah beliau dalam rangka membahas tugas Bapa Panuntun Agung yang sangat mendesak dan harus segera dilaksanakan. 
Pada saat Bapa Panuntun Agung menceritakan tentang penerimaan wahyu tugas penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma mulai dari awal sampai dengan akhir selama kurun waktu awal tahun 1956 sampai dengan saat itu, tiba-tiba beliau berjungkir dengan kaki di atas, kepala di bawah seraya bersabdalah beliau dengan suara yang keras :
“SRI GUTAMA HARUS MENYEBARLUASKAN AJARAN AGAMA  SAPTA DARMA, KALAU TIDAK MAU, AKAN KUHUKUM BERAT, KUGANTUNG DENGAN KAKI DI ATAS, KEPALA DI BAWAH SEPERTI KEADAAN INI”
Setelah mengucapkan sabda tersebut, lalu kembali seperti semula, kemudian dilanjutkan sujud bersama dengan para warga. Selesai sujud Bapa Panuntun Agung Sri Gutama menjelaskan bahwa perintah Allah Hyang Maha Kuasa untuk menyebarluaskan Ajaran Agama Sapta Darma tidak dapat lagi ditunda-tunda. Kemudian beliau memerintahkan kepada semua warga yang hadir saat itu agar besok pagi tanggal 18 Agustus 1956, berkumpul kembali di sanggar ini guna mengadakan persiapan dan pemberangkatan bersama-sama.
Demikianlah tugas Bapa Panuntun Agung Sri Gutama selengkapnya yang wahyunya diterima pada tanggal 17 Agustus 1956 dan disaksikan oleh sebagian warga, kemudian pada tanggal 18 Agustus 1956 terus dilaksanakan secara bersama-sama meninggalkan kota Pare, Kediri menuju ke Jawa Tengah.
2.3. MASA PENYEBARAN
2.3.1. PENYEBARAN 
2.3.1.1. ARTI PENYEBARAN
Arti penyebaran ialah penyampaian Ajaran Agama Sapta Darma, sebagai ajaran budi luhur yang diterima oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama  dari Allah Hyang Maha Kuasa kepada umat manusia di dunia yang memerlukan pepadang / sinarNya.

2.3.1.2.  TUJUAN PENYEBARAN
Bapa Panuntun  Agung Sri Gutama sebagai pengemban tugas dari Hyang Maha Kuasa telah bersedia menyebarluaskan Ajaran Agama Sapta Darma, yang bertujuan untuk menuntun umat manusia, agar mereka berkemampuan untuk bangkit dan keluar dari penderitaan serta kegelapan yang membelengggu kehidupan lahir batinnya. Dimana keadaan tersebut saat ini sedang melanda sebagian besar umat manusia di muka bumi ini. Dan tidak terkecuali Bangsa Indonesia yang telah lama menderita kemerosotan moral, juga semakin parah, sehingga sebagian besar telah kehilangan pula sifat-sifat kemanusiaannya, kondisi tersebut telah melampaui batas-batas keseimbangannya.
Oleh karena itu, Hyang Maha Kuasa menurunkan wahyu alam pepadang jagad agar mereka yang sedang dalam kegelapan, dapat segera menerima cahaya pepadang, sebagai sarana untuk mengenal diri pribadinya, yang sekaligus sebagai tahap untuk mengenal Allah Hyang Maha Kuasa, serta sadar dan setia tuhu melaksanakan hukum-hukumNya. Hal ini demi terwujudnya keseimbangan dan kelestarian pertumbuhan dan perkembangan peradaban umat manusia demi menjamin kemuliaan dan keluhuran pribadi manusia.

2.3.1.3.  CARA PENYEBARAN
Dalam menunaikan tugas menyebarluaskan Ajaran Agama Sapta Darma, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama menggunakan beberapa cara menurut situasi, kondisi setempat dengan cara selaras dan serasi sesuai budaya pribadi Bangsa Indonesia, dengan semboyan “RAWE-RAWE RANTAS MALANG-MALANG PUTUNG” antara lain :
1) Melaksanakan tugas peruwatan di tempat-tempat keramat secara terbuka, warga masyarakat secara langsung dapat mengetahui.
2) Melalui sarasehan-sarasehan, ceramah-ceramah yang terus menerus dilakukan di seluruh pelosok Tanah Air Indonesia.
3) Dengan jalan Sabda Usada, yaitu penyembuhan di jalan Tuhan, memberikan pertolongan kepada orang-orang yang menderita atau dalam kegelapan setelah mereka sembuh dari penderitaan / kegelapan, lalu sebagian mengikuti jejak dan perjalanan Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, menghayati  dan melaksanakan Ajaran Agama Sapta Darma.
Dalam usaha mengembangkan Ajaran Agama Sapta Darma banyak sekali rintangan-rintangan, penderitaan-penderitaan, ejekan-ejekan, cemoohan-cemooh-an, pengorbanan-pengorbanan perasaan yang dialami Bapa Panuntun Agung Sri Gutama beserta warga pengikutnya. Namun semua itu diterima dengan penuh ketenangan dan kesabaran serta kegembiraan. Hanya berkat ketabahan itulah akhirnya Hyang Maha Kuasa mengizinkan Ajaran Agama Sapta Darma berkembang dengan subur dan cepat. Pesan dari Bapa Panuntun Agung Sri Gutama kepada warga maupun tuntunan, meski banyak rintangan agar dihadapi dengan penuh ketenangan dan kesabaran, sebab  rintangan itu semuanya adalah pupuk, serta menguji ketabahan, kesadaran dan keyakinan kita. Tanpa rintangan-rintangan tak akan bisa  mencapai Satria Utama yang berbudi luhur.
Kesadaran, kesabaran dan keikhlasan adalah modal utama dalam tugas penyebaran yang harus dimiliki oleh para warga dengan tidak melupakan ajaran warisan nenek moyang Bangsa Indonesia seperti yang tersirat di dalam tembang mijil yang berbunyi sebagai berikut :
Dedalane guna lawan sekti.
Kudu andhap asor.
Wani ngalah luhur wekasane.
Tumungkula yen dipun dukani.
Bapang den simpangi.
Ana catur mungkur.
Terjemahan Bahasa Indonesia :
Caranya mendapatkan kepandaian dan kesaktian.
Harus selalu rendah hati dan sopan santun.
Berani mengalah luhur dikemudian hari.
Menunduklah apabila dimarahi / diperingatkan.
Segala rintangan  dihindari.
Bila ada celaan tidak perlu diperhatikan.

2.3.1.4.  SASARAN PENYEBARAN
Ajaran Agama Sapta Darma diterima oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama di Bumi Nusantara setelah tujuh tahun merdeka seperti seorang anak yang berumur tujuh tahun sudah waktunya wajib belajar yang telah mampu untuk menerima pelajaran. Demikian juga halnya Bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan tujuh tahun maka diperkuat dengan diberkati dan dirahmati oleh Allah Hyang Maha Kuasa berupa Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma.
“Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma adalah wahyu mekanis, artinya begitu wahyu diterima otomatis harus dilaksanakan, tidak boleh ditunda-tunda”.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai sejarah tersendiri yang pernah mengalami pukulan keemasan. Dengan masuknya bangsa asing beserta budayanya yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia menyebabkan kemerosotan moral dan mental.
Dalam masa pembangunan Bangsa Indonesia, khususnya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, inilah sasaran utama penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma yang dikehendaki oleh Allah Hyang Maha Kuasa, supaya dapat terwujud wasiat kata-kata dari nenek moyang kita yang berbunyi “JAWA JAWI BALI MENYANG JAWANE”, yang artinya semula manusia Indonesia adalah manusia yang mengerti (jawa) yang luhur budinya, merdeka hidupnya, tiada dijajah. Maka dengan memahami, menghayati dan mendarmakan Ajaran Agama Sapta Darma diharapkan Bangsa Indonesia kembali menjadi manusia yang bebas merdeka baik jasmani maupun rohaninya, luhur budi pakartinya, bahagia hidupnya lahir dan batin. Dengan Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa yang wahyunya diturunkan di Bumi Nusantara yakni Ajaran Agama Sapta Darma, manusia akan dapat membuktikan wasiat kata-kata dari nenek moyang yang berbunyi “JAWA JAWI MANGERTI MATA SAWIJI”. Maksudnya apabila manusia Indonesia (jawa) telah kembali menjadi manusia Indonesia yang mengerti (jawa) dan akan dapat menggunakan mata satu (mata sawiji : Jawa) yang tidak rusak, yaitu alat kewaspadaan pribadi (kawaskithan : Jawa) untuk dapat mengetahui sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi.
Ajaran Agama Sapta Darma adalah salah satu Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sarana pembangunan mental spiritual, dalam ikut serta membentuk manusia yang berbudi luhur guna mewujudkan perdamaian dunia yang sangat didambakan oleh seluruh umat manusia.

2.3.1.5.  DATA PENYEBARAN

Untuk melengkapi data penyebaran, maka disampaikan kutipan sebagian data perjalanan Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dengan rombongan, dalam rangka tugas penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma. Data peruwatan dan penyebaran berjalan bersamaan / beriringan karena dalam penyebaran selalu didahului dengan peruwatan-peruwatan. Data sebagai berikut :

 

Di rumah Bapak Suyono Lumajang.  Dari kiri ke kanan : Bapak Suyono, Bapak Toekimin, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, Ibu Sri Pawenang dan Bapak Soekardi.