Minggu, 15 Januari 2012

DASAR-DASAR PENGHAYATAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA (Bag. I)

03.35  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  No comments





BAB I
KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pendahuluan
Dalam mengawali uraian ini, perkenankanlah kami mengajak kita semua bersama-sama untuk meluhurkan asma Allah Hyang Maha Agung, Hyang Maha Rokhim, Hyang Maha Adil, hanya karena adanya percikkan Sinar Cahaya Allah inilah, kita semua dapat dipertemukan melalui tulisan ini, dengan diliputi oleh rasa tentram, damai, sejahtera, bahagia, karena kita juga diliputi oleh rasa hati yang longgar, cerah, serta dalam situasi dan kondisi yang segar-bugar lahir dan batin.

Dan dengan kesempatan ini pula kita sampaikan terima kasih yang setulusnya kepada Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dan Tuntunan Agung Ibu Sri Pawenang, yang telah berkenan melaksanakan darma yang nilainya tiada terhingga, serta mempelopori pembentukkan kepribadian asli, atau sikap watak Satria Utama yang menerima kemampuan/ mengemban tugas memayu-hayu bahagianya bawana ini.

Semoga kita segenap warga berkemampuan meneladani beliau berdua, sehingga darma hidup kita dapat bermanfaat terhadap sesama manusia, yang mengemban tugas kewajiban menyampaikan Wahyu Alam Pepadhang Jagad, sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian dunia dalam kehidupan yang Tata Tentrem Kerta Raharja bagi sesama umat manusia dimuka bumi ini. Untuk itu marilah dalam kesempatan ini kita mulai mencoba menelusuri adanya kehidupan kita manusia ini.

Manusia di seluruh dunia ini dapat diperkirakan secara kasar, dalam kehidupannya secara mayoritas telah percaya bahwa Tuhan itu ada, dan Maha Kuasa, atau setidak-tidaknya ada pengakuan, bahwa di luar diri manusia itu, ada kekuatan atau kekuasaan yang melebihi dari kekuatan/kekuasaan dirinya itu, kepercayaan tersebut ada yang melaluibentuk barang, misalnya: kayu (pohon), batu, dan atau bentuk barang buatan manusia sendiri, yang dianggap sebagai perantara terhadap suatu kekuatan/kekuasaan yang ada pada luar dirinya itu. Namun manusia di nusantara ini, secara umum atau dapat disebutkan seluruhnya, telah percaya, bahkan yakin, bahwa kekuatan/kekuasaan yang ada di luat dirinya itu (secara nasional) disebut Tuhan Yang Maha Esa. 

Sebagaimana oleh para pendahulu kita dalam persiapan pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sepakat untuk menetapkan dasar NKRI ini adalah Pancasila, dan sebagai falsafah bangsa nusantara ini. Dalam sila pertama disebutkan : Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat tersebut dalam pengertian sementara ini mengandung arti/makna, bahwa bangsa nusantara ini seluruhnya telah berketuhanan yang maha esa.
Kepercayaan atau keyakinan ini di dalam penghayatannya melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh agama dan atau kepercayaannya masing-masing komunitasnya, di nusantara dan sekitarnya, kepercayaan kepada Tuhan ini menggunakan kata “agama”. Kata tersebut berasal dari Bahasa Jawa kuno/kawi, tembung “agama” mengandung arti dan makna: TATA atau TATANAN sehingga kata “agama” bermakna, sebagai Tatanan:
  1. Tata kramanya hubungan kawula dengan Gusti, secara formal spiritual, misalnya: Sembahyang atau Sujud/Sholat/Kebaktian, dan sebagainya. Adapun hubungan secara social/kehidupan sehari-hari: tidak ada cara pandhaku, yang ada hanya merasa saderma, menunaikan wajib hidup.
  2. Tata kramanya hubungan sesama kawula/umat manusia, yang wajib saling menghormati dengan dasar tata susila, sopan santun, tata bahasa atau unggah-ungguhing basa, serta empan-papan, dan lainnya.
  3. Tata kramanya hubungan kawula/umat kepada alam semesta, misalnya: bagaimana manusia memelihara lingkungan hidup atau melestarikan planet bumi sebagai media kehidupan umat, hewan dan tumbuhan, serta hubungan dengan makhluk lain yang tidak kasat mata, tetapi ada, dan atas dasar kesadaran bahwa manusia ini adalah makhluk yang tertinggi dan dimuliakan oleh Sang Pencipta, oleh karena itu menurut Wewarah Sapta Darma, manusia ini telah menerima Purbawasesa/kekuasaan agar manusia sadar dan mampu mengelola dengan tata krama yang selaras dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri, serta bersama-sam meningkatkan peradabannya dalam mencapai kelestarian keberadaan manusia di di dunia ini, dengan demikian selaras dengan pemberian Purbawasesa dari Allah Hyang Maha Kuasa. (Wewarah Tujuh no. 1 huruf D); yang sebenarnya perilaku seperti tersebut diatas, bangsa nusantara ini telah membudaya dalam kehidupan bersama, sekalipun ada beberapa penyimpangan, namun demikian bangsa nusantara masih dapat disebut memiliki budaya yang ADI LUHUNG.
Sebutan kata “Tuhan” memiliki makna: Pihak yang wajib dihormati yang setinggi-tingginya, serta harus dipatuhi segala perintah/kehendak-Nya, hal ini sama dengan tembung “Gusti” yang bermakna: yang wajib disembah dan dibekteni (dipatuhi segala perintah/kehendak-Nya) atau setya tuhu kepada-Nya. Sedangkan sebutan “Maha Esa” bermakna: Maha=linuwih/berlebih, Esa=tunggal/tunggil, sehingga kalimat yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, secara bebas dapat bermakna: pihak yang wajib dimuliakan serta dihormati setinggi-tingginya (disembah) dan berlebih (amat/sangat) tunggal (utuh), artinya, sekalipun terbagi-bagi/terpecah-pecah dan berbeda-beda namun masih berada dalam kesatuan tunggal-Nya, misalnya: tercipta adanya planet bumi beserta isinya dan benda-benda ruang angkasa lainnya di dalam hukum tata surya-Nya, semua itu masih berada dalam kesatuan tunggal-Nya, termasuk alam-alam lain beserta isinya yang tidak kasat mata.

Bangsa nusantara yang terdiri dari berbagai suku/etnis, serta agama dan kepercayaannya itu kemudian disebut “Bhineka Tunggal Ika”, berwarna-warni akan tetapi bisa guyub bersatu, namun tentu saja di dalam penyebutan terhadap Tuhan/Gusti ini juga bermacam-macam, ada yang menyebut sifatnya atau namanya, misalnya: Sang Hyang Widdi Wasa, Pangeran, Gusti Allah, Allah atau hanya disebut Gusti, Sing Maha Wikar, Sing Kuwasa, Maha Agung Kang Murbeng Dumadi, Maha Wasesa, dan sebagainya. 

Penggunaan kata sebutan tersebut selaras dengan perkembangan pergaulan bangsa majemuk ini, karenanya ada kata yang berasal dari Bahasa Arab, India, Sansekerta, Jawa kuno dan Jawa baru, dan lain-lain. Ini adalah sekedar contoh penggunaan kata yang berkembang dalam kehidupan bangsa nusantara ini, misalnya kata “Sembah Hyang” ini dari Bahasa Jawa kuno dan Bahasa Jawa baru, karena dalam hal ini Hyang (nama DZAD/Cahya MAYA) bermakna sama dengan kata Allah, berarti bersembah kepada Allah, sama artinya dengan kata “Sholat”, kata “Sujud”, dan sebagainya, dengan adanya sedikit contoh sesebutan nama Tuhan atau Gusti tersebut diatas, selanjutnya akan semakin berkembang penalaran kita ini, kita sadar bahwa Gusti itu ada dan dapat dimengerti dengan rasa, dan segalanya serba maha yang telah disebutkan tadi, misalnya: Maha Wasesa (Maha Kuasa) yang menciptakan dan sekaligus menguasai alam semesta ini (alam dengan segala isinya), oleh karenanya, orang jawa menyebut “Hyang Maha Murbeng Dumadi”, artinya yang murba dan amisesa seluruhnya yang ada/terjadi. 

Sesungguhnya akal dan pikir manusia tidak akan mampu mewadahi/memahami dengan pasti tentang keberadaan-Nya itu, karenanya ada yang menyebut memang gaib/samar, artinya tidak jelas, tetapi ada, karena sulitnya memahami, terserah kita manusia ini dalam perlakuan serta anggapan terhadap keberadaan Tuhan/Gusti ini. Misalnya, diperlakukan seperti apa, seperti bawahan yang bisa diperintah, contoh:”Ya Allah, lindungilah bangsa kami ………”, diperintah oleh umat-Nya pun tidak pernah kecewa/marah, dan sebagainya, begitu pula dipuja dan dipuji, Allah juga tidak pernah bangga disembah dan dibekteni, bahkan dianggap tidak adapun, Allah Hyang Maha Kuasa tidak akan pernah berubah, tetap sebagaimana adanya semula, karena begitu samarnya, kita manusia ini sering terjerumus dalam kekeliruan cara kita meyakininya.

Kadang-kadang terasa sangat tebal keyakinan kita terhadap kemaha-kuasaan Tuhan ini, termasuk menguasai keberadaan diri kita ini. Namun dalam suatu saat, kita manusia ini merasa sangat berkuasa, tidak hanya menguasai dirinya sendiri, akan tetapi juga merasa mampu menguasai lebih luas lainnya. Situasi dan kondisi seperti ini jika kita manusia ini telah meninggalkan sifat arif dan bijaksana, kita akan terjerumus pada sifat kesombongan manusia. Oleh karena itu, kita awajib bersyukur karena telah bersujud kepada-Nya dengan cara melalui penelitian getaran RASA, yang selanjutnya juga dapat selalu mempertajam kepekaan rasa, sehingga kita akan berkembang pada rasa dan perasaan atau dalam Bahasa Jawa-nya, Rasa Rumangsa, sehingga dapat sebagai modal pembentukkan perilaku manusia yang tidak selalu Rumangsa bisa, akan tetapi sering ingat dalam perilaku Bisa rumangsa (Rumangsa serba terkatas, rumangsa sebagai Kawula. Rumangsa sejatine among saderma nglakoni). sehingga tidak lagi kita sering lupa diri, karena selalu merasa bahwa Gusti/Tuhan tudak beserta dengan kita, dengan demikian kita sering berbuat semena-mena (sekehendak hati).

Sifat mudah lalai seperti ini, kalau kita tidak jujur, karena dimulai dari anggapan kita terhadap keberadaan Tuhan, seperti sosok orang/manusia atau sosok Raja di Raja yang posisinya di atas langit nan jauh disana, atau setidaknya merasa atau mengira ada dua pihak yang terpisah dengan jelas antara diri kita manusia sebagai umat/pihak, satu pihak dan kemudian ada Allah Hyang Maha Kuasa (Sang Pencipta alam beserta isinya) sebagai pihak yang lain, yang keberadaannya terpisah secara signifikan (tanpa sedikitpun ada hubungan), semacam keberadaan kawula dengan Gusti terpisah (dua belah pihak). Pengertian semacam ini memang tidak salah, namun sejatinya, antara manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa itu ibarat ikan dengan air samudra nan luas tiada batas, jadi ikan tanpa air pasti tidak ada/mati, namun sebaliknya air tanpa ikan ya tetap masih air, tidak akan berubah. Hal ini seyogyanya bagi Warga Sapta Darma harus dapat merasakan dan membuktikannya dalam pengertian secara luas.

Wewarah pada bab IV, Simbul Pribadi Manusia (SPM) menjelaskan bahwa di dalam pribadi manusia ada (kadunungan) percikkan Sinar Cahya Allah yang meliputi seluruh tubuh manusia. Di dalam penelitian bersentral pada kecer ati (telenging ati), karenanya ada sebutan Hati Nurani, karena itu apabila rasa hati manusia tertutup oleh berbagai macam kepentingan nafsu, tentu saja cahaya hatu manusia akan menjadi suram bahkan menjadi gelap (bingung, dan sebagainya), pengertian ini menujukkan bahwa Allah atau Hyang itu tidak berbentuk seperti sosok pribadi manusia (Raja di Raja) seperti tersebut diatas tadi. Namun Gusti/Allah/Hyang itu dalam pemahamannya tidak berbentuk apa-apa, atau dapat disebut dalam Bahasa Jawanya, “ora gatra, ora rupa”, atau “ora kena kinarya apa”. Dalam pengertian ini, sebutan Allah itu adalah nama-Nya. Adapun yang diberi nama Allah itu sejatinya DZAD/Zat Cahya Maya yang keberadaan-Nya itu maha agung/meliputi seluruh apa yang ada dan tidak mengenal dimensi ruang dan waktu serta tempat, sehingga dapat disebut tanpa batas, karenanya disebut dimana-mana ada dan tidak pernah kemana-mana, tidak pernah owah gingsir (langgeng). Itulah Hyang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya (planet-planet dalam tata surya) serta benda-benda ruang angkasa lainnya.

Di samping jagad atau alam dunia tadi juga menyatu pula adanya alam antara/lokomitara atau alam halus atau roh, dan sebagainya yang belum kembali ke alam langgeng (Kaswargan). Dan berikutnya ada alam langgeng/abadi dan atau Swarga (Alam Maya). Adanya tiga alam yang berbeda ini pada hakekatnya adalah menyatu dalam satu kesatuan yang utuh, oleh sebab itu sering juga disebut TRILOKA yang bermakna: Tri=tiga yang telah menyatu, sedang Loka=jagad atau alam. Sehingga arti lengkapnya kata “Triloka” adalah, kesatuan tiga alam (alam dunia (lokika), alam halus/roh dan lain sebagainya (lokantara), serta alam langgeng/kaswargan (lokabwera)) disamping pengertian adanya ketiga alam (makro kosmos) diatas, juga ada pengertian adanya jagad pribadi (mikro kosmos) yang juga terbagi dalam tiga tingkatan yang menyatu dalam kesatuan rasa, antara lain: di bawah lambung/tulang iga bawah, disebut JANALOKA, dari lambung keatas sampai dengan pangkal leher (tenggeg) disebut ENDRALOKA, dari pangkal leher ke kepala disebut GURULOKA. Ketiga loka ini juga disebut TRILOKA yang melambangkan seluruh jagad gumelar ini dapat dimasukkan ke dalam jagad pribadi manusia, karenanya JANALOKA sebagai lambang alam dunia, ENDRALOKA sebagai lambang alam halus/roh (usik, krentek, dan lain-lain), GURULOKA sebagai lambang alam penentu/guru/pangeran atau keputusan (dalam kondisi normal, GURULOKA/otak untuk berpikir dalam mengambil keputusan, dalam kondisi sujud, Janaloka harus lerem dulu (getaran kasar), kemudian Endraloka, krentek, angan-angan harus lerem, tidak naik ke otak.

Jika berhasil dapat menemukan jalannya getaran halus (prawita sari) naik ke Guruloka, oleh sebab itu otak harus kosong terlebih dahulu, ini bisa terjadi apabila Endraloka telah kosong/tidak mengirim getaran lagi ke otak/berpikir. Hal ini semua bisa terjadi jika jasmani/badan kasar beserta unsur sebelas saudara/badan halus telah ikhlas/pasrah/sumeleh seluruhnya, tinggal satu yang bersifat jujur dan ikhlas menerima tugas sebagai saksi, bahwa Triwikrama akan/sudah terjadi, dengan demikian adanya hanya mengerti tanpa melalui pikir/otak, karena masih dalam rasa/lubuk hati yang kosong dan jernih tadi, disinilah perlunya dalam laku keseharian, kita harus selalu menjaga kebersihan/keheningan rasa hati (Waya Brata).

Sehingga di dalam menunaikan darma hidup sehari-hari, kita harus selalu di dalam tuntunan hidup ini, artinya kehidupan ini hakekatnya hanya sebagai peraga saja (saderma nglakoni), wujud dalam rasa/perasaan kita ora rumangsa bisa ananging tansah bisa rumangsa. Merasa/menyadari bahwa semuanya ini adalah memang digerakkan oleh Sinar/Cahaya ning Hyang itu. Dengan demikian kita manusia ini tidak pernah merasa jauh apalagi berpisah dengan Hyang/Allah itu, karenanya manusia tersebut akan menjadi tambah percaya diri (PD), akan tetapi tidak sombong, karena sadar dan tahu diri (TD).

Dengan modal dasar pengertian hakuming Hyang tersebut diatas, manusia akan sadar, tulus dan ikhlas melaksanakan kewajiban setya dan tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng. Sebagai roh-nya seluruh Wewarah Tujuh yang harus didarmakan oleh ketiga warga Allah ini. Hal tersebut selaras dengan kata “darma” yang bermakna kewajiban suci, artinya seluruh tugas kewajiban hidup manusia harus dilaksanakan tanpa ada sedikitpun pengharapan akan menerima imbalan/balasan dari manapun dan berupa apapun, hanya berdasarkan rasa sadar bahwa manusia hidup dan digerakkan segalanya oleh Cahya Allah ini, sehingga hakekatnya yang berkarya dan berdarma itu adalah Hyang Maha Kuasa itu sendiri, oleh karenanya, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dalam buku Dasawarsa disebutkan SEPI ING PAMRIH, RAME ING GAWE. Itulah dasar hukum darmanya para Warga Sapta Darma yang ditujukan kelak pada saat meninggalkan dunia fana ini akan langsung dipersilahkan kembali manunggal pada asalnya (kembali sawarganya Allah lagi), yang sering disebut swarga ini adalah alam langgeng, artinya: tiga NUR yang TRIWIKRAMA ini setelah tancep kayon (wafat). Nur/Cahaya kembali manunggal sasinar di Alam Kamulyan Langgeng, sehingga manusia harus merasa tidak ada lagi, selaras dengan tesing dumadi, karena sebelum peristiwa Tesing Dumadi kita ini, kita memang tidak pernah merasa ada, karenanya harus kembali tidak ada lagi (menjadi urip langgeng/uriping Gusti).

Untuk lebih jelasnya marilah kita mencoba sekali lagi tentang pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa, yang arti dan makna ringkasnya adalah sebagai berikut: “PIHAK YANG HARUS DISEMBAH DAN DIBEKTENI SERTA AMAT TUNGGAL” yang dapat kita sebut ALLAH atau HYANG, yang bila kita sebutkan itu adalah DZAD/CAHYA MAYA yang keberadaan-Nya meliputi seluruh wujud serta sifat ciptaan-Nya (planet bumi/tata surya alam roh dan alam maya) semuanya dalam satu kesatuan (Triloka). Adapun kita manusia ini ada pada planet bumi yang berada pada lingkungan tata surya tadi (alam dunia). Sedangkan alam dunia juga diliputi oleh alam roh/halus yang masih ada sifat suka dan duka. Kemudian dari dua ala mini juga diliputi oleh alam Cahya Maya tadi, oleh karenanya dapat disebut: dimana-mana ADA, akan tetapi tidak pernah kemana-mana (tidak owah gingsir). Itulah yang kita sebut: Tuhan Yang Maha Esa (Maha Tunggal). Maha Tunggal sama dengan sebutan SATU (satunggal/SAWIJI). Tambahan uraian singkat ini kiranya dapat memperjelas pemahaman kita tentang Tuhan Yang Maha Esa. Sebutan tersebut dalam lebih singkatnya akan kita sebut saja GUSTI atau TUHAN, dalam hal ini marilah kita masuk lebih kedalam lagi, misalnya: Tuhan ini adalah rasa ASIN atau LEGI atau PADHANG, artinya dapat dijelaskan sebagai berikut: keTUHANan = keASINan = keLEGIan = kePADHANGan.

Dengan bahasan ini dapat kita pahami bahwa warga NKRI (manusia nusantara) ini pada hakekatnya disadari atau tidak, seluruhnya mengakui bahwa setiap sosok pribadi telah diliputi oleh Gusti, atau kePADHANGan Cahaya-Nya Gusti tadi, atau lebih tegasnya lagi, jika Gusti/Tuhan tadi bersifat/berupa DZAD atau CAHAYA/MAYA = NUR/URIP sehingga dapat disimpulkan bahwa kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” sama arti/maknanya dengan kalimat: keURIPan yang Maha Esa (Maha Tunggal), berikutnya dapat diyakini bahwa manusia ini cahayanya/urupnya/uripnya adalah urip-Nya Gusti, bukan hidupnya manusia sendiri. 

Oleh sebab itu, apabila manusia hidupnya ini ditarik kembali oleh Yang Empunya (Tuhan), manusia tidak akan mampu mempertahankannya, mau tidak mau meninggalah manusia ini beserta seluruh kemampuannya. Sehingga jikalau kita sepakat dengan pemahaman ini, maka segala ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang ini pada sejatinya adalah ilmu dan pengetahuan miliknya Sang Cahaya /Hidup/ Ki Urip tadi. Sehingga kita dapat meyakini kebenaran adanya ucapan bahwa, “ilmu itu adalah cahaya (cahaya Allah), atau kebenaran ucapan tiada kemampuan dan atau kekuatan apapun dan dari manapun yang ada pada diri manusia kecuali hanya ada kemampuan dan kekuatan dari Allah/Hyang tadi. Sebagai bukti dan kesaksian kita, bahwa setiap orang yang dinyatakan telah meninggal dunia/mati, mengedipkan mata saja sudah tidak akan mampu atau tidak akan kuat, silahkan digali pembuktian secara kerokhaniannya, adapun uraian diatas dapat kita anggap sebagai bukti dan kesaksian secara kejasmanian/penalarannya........BERSAMBUNG

0 komentar:

Posting Komentar