Minggu, 15 Januari 2012

PENGALAMAN MATI SEBELUM MATI

21.30  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  No comments

Oleh : Agust. R.

Semua ajaran Tuhan mengenal dan meyakini adanya kematian dan hari akhir, Surga dan Neraka, namun pandangannya berbeda-beda. Ada yang berkeyakinan bahwa di Surga/Nirwana/Taman Firdaus, penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan, dan akan merasakan kehidupan baru seperti di dunia ini. Sedangkan di Neraka, dipenuhi dengan penyiksaan. Ada pula yang berkeyakinan bahwa setelah mati, roh suci (dalam bentuk roh) akan kembali ke asalnya menghadap Hyang Maha Kuasa, bukan berbentuk badan yang bisa merasakan indah dan nikmat Surga, ataupun sakitnya siksaan Neraka, hanya seakan-akan merasakan adanya ketenangan dan ketentraman. Bagi yang tidak percaya, silahkan mati dahulu untuk selanjutnya hidup kembali sehingga nara sumbernya lebih akurat.

Kita semua mengetahui bahwa diri kita ini terdiri atas jasad/badan kasar dan roh. Badan kasar adalah berupa anggota badan, panca indera, dan kelengkapan kejasmanian. Diluar itu, masih ada kelengkapan rohani yang berupa Roh Suci, yang diyakini sebagai bagian (pletikan) dari Hyang Maha Kuasa. Selain itu, masih ada unsur-unsur rohani seperti Saudara 11 yang mendampingi Roh Suci dalam kehidupan. Ada pula yang meyakini adanya unsur sedulur papat yang mendampingi Roh Suci.

Roh-roh yang mempunyai tugas sesuai spesifikasinya masing-masing, dapat dikatakan memiliki tugas dan wewenangnya sendiri, dimana kecenderungan mengarah kepada Nafsu, Budi, Pakerti. Secara umun, orang menyebut Nafsu Hitam, Nafsu Merah, Nafsu Kuning dan Nafsu Putih. Tugas Roh Sucilah untuk mengendalikan nafsu-nafsu tersebut dalam kehidupan.
Ada keyakinan bahwa bila kita mati, jasad kita akan kembali ke asalnya, yaitu yang berasal dari tanah kembali ke tanah, yang berasal dari air kembali ke air, yang berasal dari api kembali ke api, dan yang berasal dari udara kembali ke udara. Sedangkan Roh Suci yang berasal dari pletikan Sinar Cahya Allah, akan kembali ke asalnya menghadap Hyang Maha Kuasa, dengan segala konsekuensinya selama menjalani tugas hidup. Namun tidak semua Roh Suci diterima Hyang Maha Kuasa, ada yang disuruh kembali dikarenakan belum waktunya sowan kepada Hyang Maha Kuasa, seperti halnya yang pernah dialami oleh beberapa orang yang menjadi nara sumber adalah sebagai berikut:

1. Ibu Sati – kelahiran Balun Masinisan, Cepu. Usia 99 tahun, keturunan Jawa-Belanda.
Beliau pernah mati dan sampai di suatu tempat yang tidak ada batas utara maupun selatannya, keadaannya hanya kosong, disana beliau mendengar suara, “He balia kowe, durung wancine mrene, hayo ndang bali (hei kamu kembalilah, belum waktunya kesini, hayo cepat kembali). “ Sampai sekarang beliau masih sehat dan segar-bugar.

2. Ibu Katini – dari Brebek, Nganjuk. Usia 60 tahun.
Beliau dioperasi dan diberi bius total. Setelah siuman, dokter berkata, “Bu, jangan bergerak. Diingat-ingat apa yang terjadi selama Ibu tidur/dioperasi?”
Ibu Katini langsung mengingat kejadian apa yang telah beliau alami. Beliau merasa Roh Sucinya menuju ke suatu tempat, dan dalam perjalanan beliau melihat orang duduk bersila di bawah pohon dan diam seribu bahasa. Ada juga yang duduk diam di hamparan salju, ada yang berdiri diam di hamparan sabana. Akhirnya perjalanan sampai di suatu tempat yang disitu terdapat sebuah rumah besar, berpagarkan tembok yang tinggi, berpintu besar dan dijaga oleh orang-orang yang berpakaian seperti pengawal kerajaan di Eropa. Di luar pintu ada barisan orang-orang yang berpakaian ala muslim yang antri dan satu-persatu dipanggil masuk ke dalam rumah. Ada barisan lagi yang berbusana ala barat dan juga menunggu pangilan masuk. Ada juga antrian selain yang berpakaian barat ataupun muslim. Ibu Katini diam di situ, di luar barisan dengan maksud menunggu apabila dipanggil. Namun karena lama tidak juga dipanggil-panggil oleh penjaga, beliau bertanya kepada penjaga. Oleh penjaga tersebut dicari nama Katini pada buku yang besar sekali. Sudah banyak buku dibuka namun nama Ibu Katini tidak ditemukan di dalamnya. Kemudian oleh panjaga, beliau disuruh kembali karena namanya belum terdaftar. Dalam perjalanan kembali, beliau melihat banyak fenomena kehidupan masa lalu di dunia. Beliau juga sempat singgah ke desa asalnya di Brebek, Nganjuk. Teringat masa kecilnya, rasa-rasanya beliau bermain dengan teman-teman kecil beliau yang sebaya, dan saudara-saudara beliau. Keadaan rumahnya pun persis seperti kondisi di waktu beliau masih kecil, tidak seperti sekarang yang sudah dipugar menjadi lebih bagus. Setelah itu, Roh Sucinya melihat badannya terbaring di atas ranjang rumah sakit dan kembali masuk ke dalamnya, dan akhirnya beliau siuman.

3. Bapak Sadad, alm. – masinis Djawatan Kereta Api (DKA). Tinggal di Jebres dan menyewa rumah di Belang. Pada saat terjadi Pagebluk di Jebres, Surakarta pada sekita tahun 1949, beliau dalam kondisi sakit. Pagi-sakit dan sore-meninggal. Pada tengah malam hari, Bapak Sadad merasa ada rombongan yang berhenti di perempatan jalan rumah beliau. Beliau mendengar suara langkah dari salah satu anggota rombongan, mendekati beliau dan berkata. “He Kang, dudu iku. Iku during wancine (hei Kak, bukan itu. Yang itu belum waktunya).”

Kemudian Bapak Sadad pun kembali sehat dan segar-bugar, dan baru meninggal pada tahun 1982.

4. Ada seorang Ibu yang sudah tua. Beliau sujud dan racut (Roh Sucinya sowan Hyang Maha Kuasa). Di sana beliau merasakan ketenangan dan ketentraman yang luar biasa, sehingga Roh Sucinya enggan/malas untuk kembali masuk ke dalam raganya. Dan karena waktu racutnya terlalu lama, maka keluarganya meminta tolong kepada sesama warga. Kemudian warga yang dimintai tolong tersebut pun ikut racut dan warga tersebut bertemu dengan Roh Suci Ibu tadi. Warga tersebut mengajak beliau pulang, namun beliau tidak mau karena sudah merasa betah di sana. Setelah disadarkan bahwa belum waktunya untuk kembali menghadap Hyang Maha Kuasa, dan di lain sisi keluarga beliau pun sangat cemas, akhirnya Ibu tersebut mau kembali ke raganya dan lukarlah sujud beliau.

5. Bapak Poniran Suparno, alm. – tinggal di Jl. Bromo, Surabaya.
Sewaktu almarhum masih hidup, beliau berkali-kali bercerita kepada penulis bahwa dalam racut beliau (Roh Suci sowan Hyang Maha Kuasa), di perjalanannya melihat almarhumah ibu beliau di suatu tempat yang bukah rumah/tempatnya. Oleh Bapak Poniran, ibu beliau ditegur bahwa tempat itu bukanlah tempat bagi ibu beliau, rumah ibu beliau berada di tempat yang lebih tinggi. Kemudian oleh Bapak Poniran, sang ibu digendong melewati trap-trap tanjakkan, diantarkan ke rumah di suatu tempat dan berkata, “Neng kene lho mak panggonanmu, wis disiapna karo Sing Kuwasa. Nang kana mau iku dudu panggonanmu (di sini lho bu tempatmu, sudah disiapkan oleh Hyang Maha Kuasa. Di sana tadi bukan tempatmu).”

6. Pada saat penulis mengikuti Sujud Penggalian pada 27 Desember di SCSR Yogyakarta dan Tuntunan Penggalinya adalah Bapak Sosro dari Surakarta. Penulis meminta ijin kepada Bapak Tuntunan Penggali untuk meneliti turunnya getaran setelah badan tegak kembali dari kepala setelah sampai silid kodok dan diteruskan kemana setelah keluar dari silid kodok tersebut. Permohonan tersebut pun diijinkan oleh Tuntunan Penggali.

Pada saat bungkukan ketiga dan badan tegak kembali, penulis meneliti turunnya getaran dari kepala ke bawah. Sesampainya getaran tersebut di silid kodok, penulis memohon ijin kepada Hyang Maha Kuasa agar memperkenankan getaran tersebut untuk terus turun ke bumi. Kemudian penulis merasa bahwa tubuhnya dalam keadaan utuh dan berada di dalam kurungan anyaman berwarna kuning keemasan yang mungkin merupakan Wasiat Kurungan Kencana. Kemudian kurungan tersebut diturunkan dari atas ke bawah atau ke dalam bumi dengan menggunakan tali emas. Setelah berada di dalam bumi, penulis keluar dari kurungan tersebut dalam wujud jasad utuh berjalan-jalan di dalam tanah dan melewati akar-akar pohon yang besar, akar-akar tersebut menjadi langit-langitnya sebagaimana keadaan di dalam Gua Maharani yang berada di Lamongan, sehingga penulis pada saat berjalan harus menghindari dan menyingkirkan akar-akar tersebut. Penulis berkata di dalam hati, “Apakah kisah Pewayangan Antareja seperti ini? Selain itu benar adanya tentang apa yang dikatakan oleh beberapa warga, yang dalam sujudnya dapat mengetahui bahwa di dalam tanah ini ada tambang ini, ada tambang itu.”

Setelah penulis puas berjalan –jalan di dalam bumi dan mengagumi keagungan Hyang Maha Kuasa, penulis pun lukar dari sujudnya. Hasil tersebut disampaikan kepada Tuntunan Penggali yaitu Bapak Sosro, beliau tidak memberikan komentar apapun dan hanya tertawa terbahak-bahak.

Masih banyak lagi referansi yang penulis dapatkan, namun apabila semua harus ditulis, maka rubrik yang lain tidak akan cukup untuk dimuat.



0 komentar:

Posting Komentar