Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

HASIL PENELITIAN KREATIF

Sanggaran keliling remaja sewilayah Surakarta, di Sanggar Candi Busono Tanggan Sragen, sekaligus pelatihan pembuatan pupuk cair organik yang di hasilkan oleh para remaja KSD Sragen.

Kunker di Tulungagung

Sanggaran Remaja Kerokhanian Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Ringin Pitu Tulung Agung-Jawa Timur.

Kunker di Tulungagung

Sanggaran Remaja Kerokhanian Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Ringin Pitu Tulung Agung-Jawa Timur.

Kunker di Jember

Kunjungan koordinator Remaja Kerokhanian Sapta Darma pada acara sanggaran remaja di Sanggar Candi Busana Jember-Jawa Timur.

Kunker di Jember

Kunjungan koordinator Remaja Kerokhanian Sapta Darma pada acara sanggaran remaja di Sanggar Candi Busana Jember-Jawa Timur.

Kunker di Kediri

Sanggaran remaja di Sanggar Agung Candi Busana Pare-Jawa Timur di hadiri oleh Koordinator Remaja KSD dan segenap Tuntunan se Kabupaten Kediri.

Simbol Pribadi Manusia

Merupakan Simbol Pribadi Manusia yang bersifat universal

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Sarnas Remaja Sapta Darma 2011

Bapak Drs Gendro Nurhadi, M.Pd. selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI terlihat membuka Sarnas Remaja KSD ke IX di Pare, 9 Juli 2011.

Foto bersama Bp. Permadi, SH.

Kenangan bersama bapak Permadi seusai beliau menyampaikan sambutan pada Sarasehan Ramaja KSD ke IX di Pare, 9 Juli 2011.

Sujud Penggalian Kerokhanian sapta darma

Sujud penggalian merupakan pendidikan tertinggi dalam kerokhanian Sapta Darma dalam mencetak Satriya Utama yang berbudi pakerti luhur, penuh cinta kasih terhadap sesama manusia dan alam lingkungannya.

Umbul-umbul klaras (daun pisang kering)

Pembuatan umbul-umbul daun klaras di SCB. Bogangin-Kedurus, Surabaya. Merupakan salah satu pelengkap dalam menyambut datangnya bulan Sura (saka Jawa) sesuai tradisi Kerokhanian Sapta Darma

Peserta sujud penggalian wajib lapor

Bp. Sayid (Tuntunan kota Surabaya) sedang menerima laporan sekaligus memberikan penjelasan dari hasil sujud peserta Sujud Penggalian Remaja di Sanggar Agung Candi Busana Pare-Kediri pada tgl. 20-26 Desember 2011

Bianglala budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Kamis, 19 Januari 2012

DASAR-DASAR PENGHAYATAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA (Bag. II)

16.16  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  1 comment


BAB II
MENGENAL DIRI PRIBADI

Gambar Simbul Pribadi Manusia (SPM) adalah wahyu yang diterima dari Allah Hyang Maha Kuasa pada tanggal 12 Juli 1954 mulai jam 10:00 WIB sampai selesai, bersama dengan rangkaian wahyu Wewarah Tujuh dan Sesanti dalam satu kesatuan (paket). Diterimanya ajaran ini disaksikan oleh empat orang antara lain: Diman (Sersan AD); Donoemihardjo (mantri guru Taman Siswa Pare Kediri); Marto, dan Djojo Sadji serta Hardjo Sapoera sendiri.
Turunnya ke tiga jenis wewarah/ajaran ini adalah sebagai wahyu yang ke tiga yang sebelumnya ialah wahyu sujud yang pertama dan ke dua wahyu racut, sehingga dengan diterimanya satu paket ajaran yang berisikan Wewarah SPM Wewarah Tujuh dan Sesanti ini menjadi petunjuk bahwa semua ajaran wahyu yang diterima sejak Desember 1952 dan Februari 1953 serta wahyu tanggal 12 Juli 1954 ini menjadi satu kesatuan wahyu pokok yang disebut wahyu wewarah sapta darma karena setelah 12 Juli 1954 masih ada dan diterima lagi wahyu-wahyu pelengkap lainnya.

Gambar SPM adalah bukti bahwa Hyang Maha Kuasa bermaksud memberikan petunjuk kepada manusia tentang asal-usul-sifat-sifat serta pribadi manusia, agar manusia menjadi tahu terhadap dirinya sendiri, atau tahu diri yang selanjutnya akan lebih percaya diri, atas dasar lebih percaya dan yakin seta iman kepada Allah Hyang Maha Kuasa, dan mutlak keberadaanNya serta sebagai penentu atas segalanya yang ada di segenap alam beserta segala isinya, (termasuk penentu ada atau tidaknya saya dan Saudara ini). Di dalam buku Wewarah Sapta Darma telah diuraikan pokok-pokok dasar pengertian yang terkandung didalam ajaran gambar SPM (silakan untuk didalami) dan selanjutnya ajaran wahyu GAMBAR SIMBUL PRIBADI MANUSIA (GSPM) adalah sarana utama didalam teori mengenal dan memahami keberadaan dirinya sendiri hidup di alam dunia ini.
Agar para warga dapat memperoleh bukti dan kesaksian dalam kehidupannya, maka setiap warga diwajibkan mengikuti program sujud penggalian pribadi manusia (SPPM) dalam rangka menggali pribadinya sendiri, untuk menemukan jati dirinya sendiri (kepribadiannya yang asli) sehingga setiap pribadi warga akan bertambah keyakinannya terhadap kemampuan dirinya dan sekaligus menyakini bahwa ALLAH itu maha Kuasa dan Maha Segalanya, mutlak tanpa batas. Ora kena kinaya apa lan murbeng dumadi.
Dengan GSPM, kita (manusia) akan menjadi kenal akan :

1. Asal mula keberadaan pribadinya/manusia
2. Memahami sifat-sifat manusia/pribadinya (mawas diri)
3. Memahami jati dirinya sebagai pribadi/manusia yang luhur dan mulya

Dengan program SPPM sebagai pembelajaran praktik pembuktian dan kesaksian rohani, bahwa setiap pribadi manusia dapat diyakini adanya 12 (dua belas) komponen yang berbeda, baik tempat dan watak maupun namanya, namun dapat bekerjasama secara otomatis dan sistematis serta makerti menurut hokum PEPANCEN dan PEPESTHEN. (kodrat dan takdir), sehingga dua belas komponen (sedulur pribadi) yang berbeda tadi menjadi JUMBUH (selaras/sarasa) dan GAMBUH (mengeluarga/terbiasa memahami) dan sekaligus LULUH (menyatu menjadi satu kesatuan utuh) yang bisa disebut dengan seseorang/sosok tampilan pribadi manusia, sebagaimana diri pribadi kita ini.
Namun harus diingat kedua belas unsure ini adalah sebagai motor penggerak utama dalam aktifitas seorang pribadi, yang kecenderungan lebih besar/banyak mengarah kepada perbuatan yang asor, oleh sebab itu Panuntun Agung memerintahkan kepada segenap warga sebagai berikut percayalah kepada pribadimu, kepada tuntunanmu sebab kalau tidak percaya kepada hidupmu bagaimana akan percaya kepada Hyang Maha Kuasa, sebab tuntunanmu adalah hidupmu yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.
Dengan demikian kita wajib bersama-sama belajar, didalam kehidupan sehari-hari selalu tinuntun rasa urip pribadi masing-masing mengingat adanya hokum sebab-akibat atau tandhur undhuh (ngundhuh wohing pakarti) agar kehidupan kita tidak tersesat pada perbuatan yang bersifat sengsara/asor. Kita para warga berkewajiban menggali, baik secara rohani maupun jasmani (penalarannya) lebih lanjut agar kita mendapatkan petunjuk lebih luas dan mendalam serta lebih terinci, agar pemahaman dan penghayatan serta pendalamannya menjadi mudah dan bersemangat serta pendalamannya menjadi mudah dan bermanfaat bagi sesame umat.
Selanjutnya disajikan GSPM untuk sekali lagi dapatnya dicermati sebagai berikut:

SIMBUL PRIBADI MANUSIA

Setelah kita amati dengan cermat kemudian kita menjadi ingin uraian pokok yang disajikan dalam buku Wewarah Sapta Darma yang menjelaskan tentang bentuk belah ketupat. Warna hijau (tua), warga hijau maya dan seterusnya sampai ke semuanya jelas mengandung arti dan makna tetang asal, sifat, dan pribadi manusia, namun dalam kesempatan ini kiranya perlu ada penegasan, tentang dipergunakannya aksara jawa oleh Hyang Maha Kuasa dalam wahyu SPM sehingga dapat dimengerti, bahwa seluruh warga sapta darma berasal dari bangsa manapun akan berkewajiban belajar/mampu membaca dan menulis aksara jawa, sebab tidak hanya pada gambar SPM saja yang ada aksara jawa, tetapi didalam ajaran/wewarah Bundhelan Tali Rasa (BTR) yang menjabarkan tentang fungsi dan kegunaan BTR juga mengandung ajaran tentang rahasia hidup setiap pribadi yang telah menjadi ketetapan oleh Hyang Maha Kuasa dimana BTR ini juga menggunakan pertana aksara jawa sehingga bagi warga yang telah memahami kewajiban hidupnya yang harus berdarma, juga akan berupaya memahami batas-batas kewenangan dalam kehidupannya, tentu saja harus mempelajari BTR dan aksara jawanya.

Marilah selanjutnya kita perluas serta didalami sedikit di samping memahami uraian pokok-pokok yang telah dimuat dalam buku wewarah, juga perlu memahami kandungan yang ada pada gambar SPM di atas, ternyata gambar tersebut memiliki dua sifat gambar yang layak diketahui oleh kita segenap warga, adapaun dua sifat tersebut ialah bentuk (gatra) dan warna.

I. Sifat Bentuk (gatra) ada lima macam gatra yaitu:
1. Bentuk belah ketupat
2. Segitiga sama sisi
3. Lingkaran
4. Bentuk sastra aksara jawa yang berbunyi napsu – budi – pakarti dan sapta darma
5. Bentuk gambar (dalam hal ini adalah gambar wayang semar berkepala manusia)
II. Sifat Warga ada tujuh warga yang menyertai bentuk tersebut.
1. Warna hijau tua
2. Warna hijau muda (maya)
3. Warna hitam
4. Warna merah
5. Warna kuning
6. Warna putih, dan
7. Warna kuning ke-emasan (5 + 7 = 12)

Sehingga dapat dipahami bahwa gambar SPM ini juga menunjukan adanya saudara dua belas yang berfungsi sebagai motor penggerak seluruh aktifitas manusia baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik dan kedua belas komponen tersebut bekerja sama secara otomatis dan sistematis serta secara simultan seluruh organ-organ tubuh manusia menjadi berfungsi menurut ketentuan hukumnya masing-masing.
Didalam petunjuk wahyu pelengkap tentang saudara dua belas ini ada namanya sebagai berikut:

1. Hyang Maha Suci (percikan sinar cahya Allah)
2. Permana
3. Bayu
4. Hendra
5. Brama
6. Sukma Rasa
7. Sukma Seta (mayang kara)
8. Sukma Kencana
9. Sukma Raja (gandarwaraja)
10. Sukma Jati (jatingarang)
11. Sukma Naga (nagatahun)
12. Bagendha Kilir (nur rasa)

Menurut petunjuk wewarah sapta darma dua belas komponen tersebut berposisi yang berbeda didalam rusuk tubuh manusia, namun masing-masing saling meliputi dan saling mempengaruhi sehingga bekerja samanya menjadi sangat harmonis, sistematis, otomatis, dan simultan tadi, di samping ada yang bersifat refleksitas ragawi juga ada lainnya yang bersifat nafsu–budi–pakarti, sifat ini dapat digolongkan menjadi empat golongan warna/sifat yaitu:

1. Warna hitam, lambang sifat keteguhan dan keserakahan
2. Warna merah, lambang sifat kesemangatan dan panas berani
3. Warna kuning, lambang sifat keinginan dan keindahan/kenikmatan
4. Warna putih, lambang sifat kesucian dan keutamaan
Dari ke empat golongan pengaruh sifat warna tersebut di atas, secara umum (hukum dasarnya) adalah pandum dari Hyang Maha Kuasa (adikodrati) yang telah ditunjukkan dalam gambar SPM yang berupa gambar lingkaran empat warna, dimana lingkaran warna hitam adalah bagian yang terbesar, kemudian warna meran bagian di bawah terbesar kita sebut saja besar selanjutnya warna kuning bagian dibawahnya besar kita sebut saja kecil, dan terakhir warna putih bagian dibawahnya kecil kita sebut terkecil.

Dengan adanya petunjuk besar dan kecilnya lingkaran empat warna tersebut, juga sebagai penegasan hukum pandum adanya besar dan kecilnya daya kebangkitan aktifitas napsu setiap pribadi manusia, dengan demikian jika diukur secara normal (apa adanya) seperti tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengaruh warna putih berdaya          =   1
Pengaruh warna kuning berdaya       =   2
Pengaruh warna merah berdaya       =   3
Pengaruh warna hitam berdaya        =   4  
Jumlah                                               = 10
Misalnya dibulatkan menjadi             = 100%
Dengan uraian singkat dan hitungan secara kasar tersebut hendaknya kita dapat memaklumi bahwa setiap aktifitas normal (rata-rata) pengaruh sifat kesucian dan keutamaan hanya andil 10% saja. Oleh sebab itu aktifitas napsu manusia sangat mudah sekali 90% tersesat dari tujuan kesucian dan keutamaan, sebagai mana tujuan setiap wahyu dari Hyang Maha Kuasa yang telah diturunkan kepada umat manusia sebelum kita ini. Semua wahyu tersebut selalu mengajarkan agar manusia/ pemeluknya selalu berlatih untuk berbuat/berprilaku atas dasar sifat-sifat kesucian dan keutamaan agar manusia (roh sucinya) nanti pada saatnya dapat kembali kepada Allah Hyang Maha Kuasa, namun karena kenyataannya kemajuan berpikir manusia saat ini cenderung lebih besar dalam urusan keduniawian (kepajuan IPTEK sangat pesat) serta kurangnya keseimbangan manusia dalam mengenal dirinya sendiri (tidak tahu diri) sehingga kita/manusia ini dalam melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh ajaran wahyuNya (dalam berbakti/berdarma) menjadi berkurang nilai darmanya, karena seringnya terjadi dalam berdarma (sujud dan perbuatan luhur/baik lainnya) kurang didasari rasa kejujuran dan keikhlasan, artinya masih adanya unsur atau sifat akuisme (egois) setiap pribadi manusia. Untuk memahami itu semuanya, marilah kita mencoba belajar terhadap diri kita masing-masing dengan berdasarkan hukum pandum/pepancen atau adikodrati yang garis besarnya telah kita bahas dimuka tadi. Selanjutnya mari kita masuk lebih ke dalam dan lebih terinci sedikit sebagai berikut.

Menurut hukum pandum telah sedikit diuraikan dimuka tadi, bahwa kedua belas komponen pribadi manusia (yang tidak kasat mata) adalah sebagai motor penggerak utama yang perwujudan aktifitasnya kita sebut Napsu Budi Pakerti (bisa baik/luhur bisa juga buruk/asor) yang kecenderungannya dalam mencapai sifat kesucian dan keutamaannya daya mempunyai hanya 10%. Pada hal tujuan wewarah wahyu minimal harus sebaliknya (90% bernilai kebaikan/keluhuran).

Marilah kita pelajari hukum dasarnya tadi menurut wewarah sapta darma bahwa BTR (ra) berada pada kecer hati dan sekaligus tempat tersebut dihuni oleh komponen pribadi manusia yang disebut brama, dan juga telah dimaklumi bahwa brama ini adalah lambang adanya unsur api (panas) atau energi/semangat yang tidak kunjung padam, dimana BTR (ra) ini adalah sebagai sentral getaran rasa yang selalu menyalur dan mengalir bagaikan air dan kontak dengan pusat (kayangan junggring saloka) otak sebagai alat pengolahan data yang diterima dari BTR (ra) menjadi hasil berpikir sebagai bahan utama yang akan menjadi keputusan yang akan dikerjakan atau tindakan/perilaku seseorang manusia. Untuk itu marilah kita mencoba mempelajari sisstem operasionalnya dimana satu atau dua maupun lebih komponen (saudara pribadi) yang telah berkoalisi/kerjasama kiranya dapat dibayangkan seperti pada gambaran kasar sebagai berikut:

Gambar sosok manusia
Gambaran kasar di atas hendaknya dapat membantu kita dalam membayangkan diri kita sendiri misalnya tanda M (mayangkara) menguasai R (rasa/hati) atau pusat energi yang tidak pernah terlepas adanya jaringan dari segala arah/penjuru letak ke duabelas komponen lainnya yang saat itu M mengalir deras ke R sehingga seluruh komponen lainnya melalui jaringan yang telah ada juga terbawa derasnya arus M (angkara murka) sehingga yang lain otomatis menjadi peserta/peminat juga hasil karyanya di M yang telah menguasai R dan diolah oleh P (pikir) dan dikerjakan oleh segenap organ dan diikuti oleh segenap komponen akhirnya bisa berwujud suatu tindakan, untuk jelasnya pada saat perut kita terasa sangat lapar (diwakili M) menguasai R (rasa/hati) yang langsung diolah oleh otak besar dan otomatis melalui otak kecil yang hasilnya menjadi buah pikiran dan gerakan refleksitas seluruh organ tubuh untuk bergerak dalam memperebutkan misalnya tumpeng rasaksa dalam upacara tertentu, doanya belum selesai peserta penunggu yang sangat lapar tadi telah mendahului menyerang/merebut agar tidak kalah dengan peserta/pesaing lainnya, dengan sendirinya pesaing lainnya tanpa dikomando ikut menyerang dan berebut karena takut kalah dan atau tidak kebagian tumpeng yang diperebutkan itu. Ini merupakan salah satu contoh bukti adanya unsur komponen saudara pribadi yang bersifat serakah dibawah pengaruh warna cahaya hitam yang berpusat pada bagian perut.

Sekarang mari kita sekali lagi untuk mendapatkan bukti dan kesaksian bahwa salah satu atau bagian kedua belas komponen pribadi manusia pada saat menguasai Bundelan Tali Rasa r (ra) atau rasa hati manusia. Misalnya saudara pribadi kita yang bernama Sukma Kencana (SK) yang dibawah pengaruh warna cahaya kuning sebagai lambang sifat keinginan/pepinginan sedangkan sifat dasar/watak SK adalah sahwat birahi. Dengan sendirinya karena SK telah bertahta pada kursi R (rasa hati) kemudian perintah kepada P (pikiran) otak besar dan kecil yang selanjutnya menjadi suatu tindakan nyata (sementara sampai disini dulu).

Mari kasus ini kita mencoba mengkaitkan dengan keterangan Wewarah Tujuh nomor 5 sebagai berikut wani urip kanthi kapitayan saka kekuwatane dhewe (bhs. Jawa) keterangan: manungsa gesang punika sampun kaparingan akal budi saha pirantos pepak kangge nyekapi kabetahan gesangipun, warga sapta darma kedah anggladhi gesang sarana migunaaken kekiyatanipun piyambak, sampun njagekaken pitulunganing sanes, mboten kenging milik darbeking sanes, ngumbar hardaning kamurkan, ingkang adamel kapitunan dhumateng sintena kemawon, kedah pitados bilih makarti sarana jujur migunaaken akal budi ingkang utami, badhe saget nyekapi gesangipun.

Uraian tersebut sebenarnya sudah cukup jelas, namun kiranya perlu ada penegasan tentang kalimat …kaparingan akal budi saha pirantos pepak kangge… agar tujuan kalimat tersebut dapat kita pahami bahwa yang kaparingan akal budi dan pirantos (piranti) pepek/lengkap itu adalah unsur kesebelas komponen pribadi kitayang berasal dari unsur jasmani. Adapun kata akal dan budi kiranya sudah jelas tidak perlu dibahas lagi namun kata pirantos (piranti) yang dimaksud adalah panca indera kita ini yang perlu ada kesamaan pemahaman kita/para warga sebagai contoh bukti misalnya diantara saudara sebelas ingin nonton sepakbola yang disiarkan di televisi tentu saja menggunakan piranti penglihatan (mata) ingin mendengarkan komentarnya tentu saja menggunakan piranti pendengaran (telinga) dan seterusnya. Namun Hyang Maha Suci yang berasal dari percikan Sinar Cahaya Allah sudah tidak perlu lagi menggunakan panca indera, karena bukan golongan napsu dan telah memiliki sifat agung, rohim, adil, wasesa dan langgeng.

Selanjutnya uraian tersebut mari kita kaitkan dengan kasus yang ke-dua misalnya ada seseorang (pria/wanita) bertemu dengan seseorang (lawan jenis) setelah kedua-duanya saling memandang, timbulah rasa saling tertarik dan keduanya saling jatuh cinta, kasus ini jelas bahwa kedua insan (lain jenis) tersebut hidupnya dikuasai oleh saudara pribadi yang bernama SK menguasai tahta di rasa/hati selanjutnya kontak dengan otak besar dan kecil kemudian membentuk perilaku/tindakan maupun perbuatan. Perlu untuk dimaklumi, kita/warga ini paham bahwa saudara SK adalah golongan dalam pengaruh warna cahaya kuning sebagai lambang keinginan-keindahan dan kenikmatan selanjutnya akan menjadi lebih berbahaya apabila timbul kerjasama saling mendukung (berkoalisi) dengan warna hitam dan merah akan menimbulkan keuletan dan keberanian yang luar biasa dalam usahanya mencapai kehendaknya. Keadaan seperti ini cahaya hati manusia akan menjadi gelap karena telah tertutup oleh napsu/pamrih jangka pendek yang bersifat kenikmatan dan keindahan sementara tadi.

Dengan demikian akal budinya juga sangat rendah (hati gelap berpikirpun juga gelap) artinya tidak mampu berpikir panjang tentang akibatnya. Inilah sebagian contoh pentingnya manusia harus mengenal pada diri pribadinya sendiri......BERSAMBUNG

Minggu, 15 Januari 2012

IONI AJARAN SUJUD DAN SAUDARA ROHANI

21.44  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  No comments

Oleh : Agust R. 
 
 
Judul di atas terinspirasi dari kata-kata Mbah Toh Joyo Prayitno, alm, yang merupakan Tuntunan SCB Kedungdoro. Beliau selalu berkata, “ Ajaran Sujud, Simbol Pribadi Manungsa dan Ajaran Sedulur iku gawat keliwat-liwat, biso nguasai ndonya sak isine.” Dari kata-kata Mbah Joyo inilah, para warga saling berlomba untuk membuktikan kebenarannya, dan kenyataannya 99% mendekati benar. Selanjutnya konsekuensinya ditanggung masing-masing penumpang. Dari pembuktian tersebut, ada beberapa cerita lucu dan hebat, dikarenakan menimbulkan perang saudara ias warga SCB Kedungdoro, berikut ceritanya;Pada waktu itu Bapak Kusnen, alm, dimintai tolong seseorang yang punya hajatan mantu, agar pada hari dan tanggal hajatannya tidak terjadi hujan dan tamunya banyak yang datang. Masalahnya, orang yang punya hajatan tersebut memiliki musuh di kampung lain. Sang musuh tersebut meminta bantuan kepada Bapak Nyoto, alm, yang memiliki nama panggilan Jidung. Kedua orang tersebut adalah warga SCB Kedungdoro, sama-sama satu grup alasan dengan penulis dan Bapak Poniran Suparno, alm. 
 
Kocap kacarita, pada hari pelaksanaan hajatan, Bapak Kusnen sujud dan meminta bantuan saudara rohaninya yang memiliki bentuk lingkaran berwarna kuning dan bernama Mikail yang berkedudukan di barat. Mikail adalah ratunya Donya, Hujan, Angin, dan binatang yang terbang, yang bertugas mengatur rejeki manusia, meminta agar pada hari tersebut agar tidak ada hujan, serta rejeki si pemilik hajat melimpah. Di sisi lain, Bapak Nyoto/Jidung juga sujud meminta bantuan kepada saudara rohaninya bernama Mikail juga. Disinilah terjadi perang saudara dikarenakan hujan dan panas yang datang silih berganti dalam jangka waktu yang relatif singkat di tempat hajatan tersebut. Padahal pada saat itu masih bulan September 1981. Bapak Kusnen dan Bapak Nyoto sama-sama sedang sujud di rumah mereka masing-masing. Bapak Kusnen terus-menerus ditelepon yang mengatakan bahwa cuacanya masih hujan, sedang Bapak Nyoto ditelepon yang menyatakan bahwa cuacanya masih belum hujan. Kedua orang tersebut merasa ada saingan yang sengaja menantang kemampuannya, sehingga sujud mereka lebih dikhusyukkan, sampai-sampai roh suci masing-masing dari mereka keluar dari badan mereka dan naik ke angkasa. Di angkasa, mereka saling bertemu dan menghujat. Masing-masing merasa bahwa mereka sedang melaksanakan tetulung marang sapa bae seperti kewajiban warga Kerokhanian Sapta Darma yang ada di Wewarah Tujuh nomor (empat). 
 
Pada hari-hari berikutnya, kedua orang tersebut tidak nampak di Sanggar. Ada berita yang menyatakan bahwa mereka sedang berseteru mengenai suatu permasalahan. Mendengar kabar tersebut, penulis dan Bapak Poniran memanggil mereka berdua ke rumah Bapak Poniran. Setelah bertemu dan bercerita tentang duduk perkaranya, terjadilah tawa membahana yang memekakkan telinga dikarenakan Bapak Nyoto apabila sedang berbicara, suara beliau keras dan orangnya mudah tertawa, dan suara tawanya pasti keras. 
 
Ada cerita lain lagi. Pada saat itu SCB Kedungdoro akan mengadakan Suroan dan mengadakan Pagelaran Wayang Purwa. Dalam rapat terdapat perbedaan pendapat antara Bapak Jo’o Ismoyo dengan rekan-rekan panitia mengenai masalah hari dan tempat, namun dikarenakan kalah suara maka hari dan tempat ditetapkan sesuai dengan jadwal dari panitia. Dalam hal ini, Pak Jo’o nggrundel dan mengancam akan terjadi hal-hal yang aneh pada saat Pagelaran Wayang nanti. Pak Jo’o pun sujud dan meminta bantuan kepada saudara rohaninya, Mikail. Beliau meminta agar pada hari tersebut diturunkan hujan sebatas di wilayah Kedungdoro IX. Alhasil pada hari pelaksanaan Pagelaran Wayang, hujan terjadi di Kedungdoro IX saja, sedang di sekitarnya seperti Jl. Bromo, Jl. Arjuna, Kampung Kedunganyar tidak mengalami hujan sehingga terjadi banjir yang menggenangi Genjot Wayang Kulit dan Pengrawitnya. Dalam hal ini, panitia lengah karena memandang sepele masalah perbedaan pendapat tersebut. 
 
Cerita lain lagi tentang kehebatan sujud Bapak Jo’o Ismoyo. Beliau memiliki pacar, namun dikarenakan suatu hal, pacarnya dinikahkan dengan pria lain. Pak Jo’o tidak terima dengan apa yang terjadi. Kemudian pada hari resepsi pernikahan tersebut yang menanggap Wayang Purwa, Bapak Jo’o meminta bantuan pada saudara rohaninya yang berkedudukan di utara, berbentuk lingkaran berwarna hitam yang bernama Isrofil, yang berkuasa atas setan, bumi, tetukulan, rasa, yang berwenang memberikan rasa kepada manusia. Beliau juga meminta bantuan pada saudara rohaninya yang berkedudukan di selatan, berbentuk lingkaran berwarna merah dan bernama Ijroil, yang menguasai hewan darat, kekuatan, kadigdayan, panas, bertugas memberikan kekuatan pada manusia, mengambil roh manusia (dalam hal ini, Bapak Jo’o tidak meminta bantuan kepada saudara rohaninya yang bernama Jibril yang berbentuk lingkaran berwarna putih, dikarenakan tidak tepat sasaran dan berkemungkinan membuat rencana menjadi gagal total), beliau juga menggunakan Wasiat yang membuat semua orang yang ada di tempat resepsi menjadi terpaku membisu, pengrawit yang sedang makan pun berhenti dengan tangan memegang sendok yang penuh, mulut terbuka. Ki dalang berhenti dengan tangan di atas dan masih memegang wayang. Dalam kondisi seperti itu, Bapak Jo’o bertindak cepat, sang pengantin wanita dibawa, digendong dan dimasukkan ke mobil kemudian dibawa lari. Semua diam membisu dan tidak dapat berbuat apapun. Setelah beberapa saat setelah pengantin wanita dibawa lari ke arah Krian, baru semuanya tersadar akan apa yang telah terjadi. 
 
Satu lagi cerita mengenai Bapak Jo’o. Pada suatu hari, beliau menantang adu wasiat dengan penulis. Mbah Toh Joyo yang mengetahui hal ini pun menjadi marah. Mbah Joyo memang memperbolehkan, namun tidak dengan wujud nyata yang dapat membuat situasi menjadi kacau. Akhirnya Bapak Jo’o dan penulis sepakat dengan mengadakan adu wasiat yang disaksikan oleh juri para senior warga Kedung doro dan sepakat mengeluarkan Wasiat Singo Barong, ada bukti dan jejak yang nyata bisa dilihat mata, meskipun Wasiat Singo Barongnya tidak nampak. Hasilnya padi di sawah yang semula tegak menjadi seperti terpisahkan melengkung ke kiri dan ke kanan membentuk dua garis lurus yang sejajar dalam jarak 1.000 meter. Oleh para juri dinyatakan bahwa keduanya sama-sama kuat, tidak ada yang menang ataupun kalah, dikarenakan keluar dan masuknya Wasiat dari tubuh memiliki waktu yang sama, kecepatan larinya pun sama. Bapak Jo’o ini orangnya takut dengan air laut. Pada saat itu diadakan ngalas dengan penulis, tirakat di Sungapan (pertemuan Kali Mas dan laut). Penulis menjadi Joko Tingkir dikarenakan harus berenang dengan menggendong Bapak Jo’o kesana-kemari untuk mencari tempat sujud di tengah laut yang pas. 
 
Ini adalah sebagian kecil pembuktian kata-kata dari Mbah Toh Joyo Prayitno, alm-Tuntunan SCB Kedungdoro IX, bahwa Ajaran Sujud dan Ajaran Saudara Rohani, Simbol Pribadi Manusia adalah gawat keliwat-liwat, biso nguasai ndonya sak isine. Mau tidak percaya? Bukti yang nyata pun ada, namun ingatlah bahwa konsekuensinya ditanggung oleh masing-masing penumpang.

PENGALAMAN MATI SEBELUM MATI

21.30  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  No comments

Oleh : Agust. R.

Semua ajaran Tuhan mengenal dan meyakini adanya kematian dan hari akhir, Surga dan Neraka, namun pandangannya berbeda-beda. Ada yang berkeyakinan bahwa di Surga/Nirwana/Taman Firdaus, penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan, dan akan merasakan kehidupan baru seperti di dunia ini. Sedangkan di Neraka, dipenuhi dengan penyiksaan. Ada pula yang berkeyakinan bahwa setelah mati, roh suci (dalam bentuk roh) akan kembali ke asalnya menghadap Hyang Maha Kuasa, bukan berbentuk badan yang bisa merasakan indah dan nikmat Surga, ataupun sakitnya siksaan Neraka, hanya seakan-akan merasakan adanya ketenangan dan ketentraman. Bagi yang tidak percaya, silahkan mati dahulu untuk selanjutnya hidup kembali sehingga nara sumbernya lebih akurat.

Kita semua mengetahui bahwa diri kita ini terdiri atas jasad/badan kasar dan roh. Badan kasar adalah berupa anggota badan, panca indera, dan kelengkapan kejasmanian. Diluar itu, masih ada kelengkapan rohani yang berupa Roh Suci, yang diyakini sebagai bagian (pletikan) dari Hyang Maha Kuasa. Selain itu, masih ada unsur-unsur rohani seperti Saudara 11 yang mendampingi Roh Suci dalam kehidupan. Ada pula yang meyakini adanya unsur sedulur papat yang mendampingi Roh Suci.

Roh-roh yang mempunyai tugas sesuai spesifikasinya masing-masing, dapat dikatakan memiliki tugas dan wewenangnya sendiri, dimana kecenderungan mengarah kepada Nafsu, Budi, Pakerti. Secara umun, orang menyebut Nafsu Hitam, Nafsu Merah, Nafsu Kuning dan Nafsu Putih. Tugas Roh Sucilah untuk mengendalikan nafsu-nafsu tersebut dalam kehidupan.
Ada keyakinan bahwa bila kita mati, jasad kita akan kembali ke asalnya, yaitu yang berasal dari tanah kembali ke tanah, yang berasal dari air kembali ke air, yang berasal dari api kembali ke api, dan yang berasal dari udara kembali ke udara. Sedangkan Roh Suci yang berasal dari pletikan Sinar Cahya Allah, akan kembali ke asalnya menghadap Hyang Maha Kuasa, dengan segala konsekuensinya selama menjalani tugas hidup. Namun tidak semua Roh Suci diterima Hyang Maha Kuasa, ada yang disuruh kembali dikarenakan belum waktunya sowan kepada Hyang Maha Kuasa, seperti halnya yang pernah dialami oleh beberapa orang yang menjadi nara sumber adalah sebagai berikut:

1. Ibu Sati – kelahiran Balun Masinisan, Cepu. Usia 99 tahun, keturunan Jawa-Belanda.
Beliau pernah mati dan sampai di suatu tempat yang tidak ada batas utara maupun selatannya, keadaannya hanya kosong, disana beliau mendengar suara, “He balia kowe, durung wancine mrene, hayo ndang bali (hei kamu kembalilah, belum waktunya kesini, hayo cepat kembali). “ Sampai sekarang beliau masih sehat dan segar-bugar.

2. Ibu Katini – dari Brebek, Nganjuk. Usia 60 tahun.
Beliau dioperasi dan diberi bius total. Setelah siuman, dokter berkata, “Bu, jangan bergerak. Diingat-ingat apa yang terjadi selama Ibu tidur/dioperasi?”
Ibu Katini langsung mengingat kejadian apa yang telah beliau alami. Beliau merasa Roh Sucinya menuju ke suatu tempat, dan dalam perjalanan beliau melihat orang duduk bersila di bawah pohon dan diam seribu bahasa. Ada juga yang duduk diam di hamparan salju, ada yang berdiri diam di hamparan sabana. Akhirnya perjalanan sampai di suatu tempat yang disitu terdapat sebuah rumah besar, berpagarkan tembok yang tinggi, berpintu besar dan dijaga oleh orang-orang yang berpakaian seperti pengawal kerajaan di Eropa. Di luar pintu ada barisan orang-orang yang berpakaian ala muslim yang antri dan satu-persatu dipanggil masuk ke dalam rumah. Ada barisan lagi yang berbusana ala barat dan juga menunggu pangilan masuk. Ada juga antrian selain yang berpakaian barat ataupun muslim. Ibu Katini diam di situ, di luar barisan dengan maksud menunggu apabila dipanggil. Namun karena lama tidak juga dipanggil-panggil oleh penjaga, beliau bertanya kepada penjaga. Oleh penjaga tersebut dicari nama Katini pada buku yang besar sekali. Sudah banyak buku dibuka namun nama Ibu Katini tidak ditemukan di dalamnya. Kemudian oleh panjaga, beliau disuruh kembali karena namanya belum terdaftar. Dalam perjalanan kembali, beliau melihat banyak fenomena kehidupan masa lalu di dunia. Beliau juga sempat singgah ke desa asalnya di Brebek, Nganjuk. Teringat masa kecilnya, rasa-rasanya beliau bermain dengan teman-teman kecil beliau yang sebaya, dan saudara-saudara beliau. Keadaan rumahnya pun persis seperti kondisi di waktu beliau masih kecil, tidak seperti sekarang yang sudah dipugar menjadi lebih bagus. Setelah itu, Roh Sucinya melihat badannya terbaring di atas ranjang rumah sakit dan kembali masuk ke dalamnya, dan akhirnya beliau siuman.

3. Bapak Sadad, alm. – masinis Djawatan Kereta Api (DKA). Tinggal di Jebres dan menyewa rumah di Belang. Pada saat terjadi Pagebluk di Jebres, Surakarta pada sekita tahun 1949, beliau dalam kondisi sakit. Pagi-sakit dan sore-meninggal. Pada tengah malam hari, Bapak Sadad merasa ada rombongan yang berhenti di perempatan jalan rumah beliau. Beliau mendengar suara langkah dari salah satu anggota rombongan, mendekati beliau dan berkata. “He Kang, dudu iku. Iku during wancine (hei Kak, bukan itu. Yang itu belum waktunya).”

Kemudian Bapak Sadad pun kembali sehat dan segar-bugar, dan baru meninggal pada tahun 1982.

4. Ada seorang Ibu yang sudah tua. Beliau sujud dan racut (Roh Sucinya sowan Hyang Maha Kuasa). Di sana beliau merasakan ketenangan dan ketentraman yang luar biasa, sehingga Roh Sucinya enggan/malas untuk kembali masuk ke dalam raganya. Dan karena waktu racutnya terlalu lama, maka keluarganya meminta tolong kepada sesama warga. Kemudian warga yang dimintai tolong tersebut pun ikut racut dan warga tersebut bertemu dengan Roh Suci Ibu tadi. Warga tersebut mengajak beliau pulang, namun beliau tidak mau karena sudah merasa betah di sana. Setelah disadarkan bahwa belum waktunya untuk kembali menghadap Hyang Maha Kuasa, dan di lain sisi keluarga beliau pun sangat cemas, akhirnya Ibu tersebut mau kembali ke raganya dan lukarlah sujud beliau.

5. Bapak Poniran Suparno, alm. – tinggal di Jl. Bromo, Surabaya.
Sewaktu almarhum masih hidup, beliau berkali-kali bercerita kepada penulis bahwa dalam racut beliau (Roh Suci sowan Hyang Maha Kuasa), di perjalanannya melihat almarhumah ibu beliau di suatu tempat yang bukah rumah/tempatnya. Oleh Bapak Poniran, ibu beliau ditegur bahwa tempat itu bukanlah tempat bagi ibu beliau, rumah ibu beliau berada di tempat yang lebih tinggi. Kemudian oleh Bapak Poniran, sang ibu digendong melewati trap-trap tanjakkan, diantarkan ke rumah di suatu tempat dan berkata, “Neng kene lho mak panggonanmu, wis disiapna karo Sing Kuwasa. Nang kana mau iku dudu panggonanmu (di sini lho bu tempatmu, sudah disiapkan oleh Hyang Maha Kuasa. Di sana tadi bukan tempatmu).”

6. Pada saat penulis mengikuti Sujud Penggalian pada 27 Desember di SCSR Yogyakarta dan Tuntunan Penggalinya adalah Bapak Sosro dari Surakarta. Penulis meminta ijin kepada Bapak Tuntunan Penggali untuk meneliti turunnya getaran setelah badan tegak kembali dari kepala setelah sampai silid kodok dan diteruskan kemana setelah keluar dari silid kodok tersebut. Permohonan tersebut pun diijinkan oleh Tuntunan Penggali.

Pada saat bungkukan ketiga dan badan tegak kembali, penulis meneliti turunnya getaran dari kepala ke bawah. Sesampainya getaran tersebut di silid kodok, penulis memohon ijin kepada Hyang Maha Kuasa agar memperkenankan getaran tersebut untuk terus turun ke bumi. Kemudian penulis merasa bahwa tubuhnya dalam keadaan utuh dan berada di dalam kurungan anyaman berwarna kuning keemasan yang mungkin merupakan Wasiat Kurungan Kencana. Kemudian kurungan tersebut diturunkan dari atas ke bawah atau ke dalam bumi dengan menggunakan tali emas. Setelah berada di dalam bumi, penulis keluar dari kurungan tersebut dalam wujud jasad utuh berjalan-jalan di dalam tanah dan melewati akar-akar pohon yang besar, akar-akar tersebut menjadi langit-langitnya sebagaimana keadaan di dalam Gua Maharani yang berada di Lamongan, sehingga penulis pada saat berjalan harus menghindari dan menyingkirkan akar-akar tersebut. Penulis berkata di dalam hati, “Apakah kisah Pewayangan Antareja seperti ini? Selain itu benar adanya tentang apa yang dikatakan oleh beberapa warga, yang dalam sujudnya dapat mengetahui bahwa di dalam tanah ini ada tambang ini, ada tambang itu.”

Setelah penulis puas berjalan –jalan di dalam bumi dan mengagumi keagungan Hyang Maha Kuasa, penulis pun lukar dari sujudnya. Hasil tersebut disampaikan kepada Tuntunan Penggali yaitu Bapak Sosro, beliau tidak memberikan komentar apapun dan hanya tertawa terbahak-bahak.

Masih banyak lagi referansi yang penulis dapatkan, namun apabila semua harus ditulis, maka rubrik yang lain tidak akan cukup untuk dimuat.



DASAR-DASAR PENGHAYATAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA (Bag. I)

03.35  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  No comments





BAB I
KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pendahuluan
Dalam mengawali uraian ini, perkenankanlah kami mengajak kita semua bersama-sama untuk meluhurkan asma Allah Hyang Maha Agung, Hyang Maha Rokhim, Hyang Maha Adil, hanya karena adanya percikkan Sinar Cahaya Allah inilah, kita semua dapat dipertemukan melalui tulisan ini, dengan diliputi oleh rasa tentram, damai, sejahtera, bahagia, karena kita juga diliputi oleh rasa hati yang longgar, cerah, serta dalam situasi dan kondisi yang segar-bugar lahir dan batin.

Dan dengan kesempatan ini pula kita sampaikan terima kasih yang setulusnya kepada Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dan Tuntunan Agung Ibu Sri Pawenang, yang telah berkenan melaksanakan darma yang nilainya tiada terhingga, serta mempelopori pembentukkan kepribadian asli, atau sikap watak Satria Utama yang menerima kemampuan/ mengemban tugas memayu-hayu bahagianya bawana ini.

Semoga kita segenap warga berkemampuan meneladani beliau berdua, sehingga darma hidup kita dapat bermanfaat terhadap sesama manusia, yang mengemban tugas kewajiban menyampaikan Wahyu Alam Pepadhang Jagad, sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian dunia dalam kehidupan yang Tata Tentrem Kerta Raharja bagi sesama umat manusia dimuka bumi ini. Untuk itu marilah dalam kesempatan ini kita mulai mencoba menelusuri adanya kehidupan kita manusia ini.

Manusia di seluruh dunia ini dapat diperkirakan secara kasar, dalam kehidupannya secara mayoritas telah percaya bahwa Tuhan itu ada, dan Maha Kuasa, atau setidak-tidaknya ada pengakuan, bahwa di luar diri manusia itu, ada kekuatan atau kekuasaan yang melebihi dari kekuatan/kekuasaan dirinya itu, kepercayaan tersebut ada yang melaluibentuk barang, misalnya: kayu (pohon), batu, dan atau bentuk barang buatan manusia sendiri, yang dianggap sebagai perantara terhadap suatu kekuatan/kekuasaan yang ada pada luar dirinya itu. Namun manusia di nusantara ini, secara umum atau dapat disebutkan seluruhnya, telah percaya, bahkan yakin, bahwa kekuatan/kekuasaan yang ada di luat dirinya itu (secara nasional) disebut Tuhan Yang Maha Esa. 

Sebagaimana oleh para pendahulu kita dalam persiapan pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sepakat untuk menetapkan dasar NKRI ini adalah Pancasila, dan sebagai falsafah bangsa nusantara ini. Dalam sila pertama disebutkan : Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat tersebut dalam pengertian sementara ini mengandung arti/makna, bahwa bangsa nusantara ini seluruhnya telah berketuhanan yang maha esa.
Kepercayaan atau keyakinan ini di dalam penghayatannya melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh agama dan atau kepercayaannya masing-masing komunitasnya, di nusantara dan sekitarnya, kepercayaan kepada Tuhan ini menggunakan kata “agama”. Kata tersebut berasal dari Bahasa Jawa kuno/kawi, tembung “agama” mengandung arti dan makna: TATA atau TATANAN sehingga kata “agama” bermakna, sebagai Tatanan:
  1. Tata kramanya hubungan kawula dengan Gusti, secara formal spiritual, misalnya: Sembahyang atau Sujud/Sholat/Kebaktian, dan sebagainya. Adapun hubungan secara social/kehidupan sehari-hari: tidak ada cara pandhaku, yang ada hanya merasa saderma, menunaikan wajib hidup.
  2. Tata kramanya hubungan sesama kawula/umat manusia, yang wajib saling menghormati dengan dasar tata susila, sopan santun, tata bahasa atau unggah-ungguhing basa, serta empan-papan, dan lainnya.
  3. Tata kramanya hubungan kawula/umat kepada alam semesta, misalnya: bagaimana manusia memelihara lingkungan hidup atau melestarikan planet bumi sebagai media kehidupan umat, hewan dan tumbuhan, serta hubungan dengan makhluk lain yang tidak kasat mata, tetapi ada, dan atas dasar kesadaran bahwa manusia ini adalah makhluk yang tertinggi dan dimuliakan oleh Sang Pencipta, oleh karena itu menurut Wewarah Sapta Darma, manusia ini telah menerima Purbawasesa/kekuasaan agar manusia sadar dan mampu mengelola dengan tata krama yang selaras dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri, serta bersama-sam meningkatkan peradabannya dalam mencapai kelestarian keberadaan manusia di di dunia ini, dengan demikian selaras dengan pemberian Purbawasesa dari Allah Hyang Maha Kuasa. (Wewarah Tujuh no. 1 huruf D); yang sebenarnya perilaku seperti tersebut diatas, bangsa nusantara ini telah membudaya dalam kehidupan bersama, sekalipun ada beberapa penyimpangan, namun demikian bangsa nusantara masih dapat disebut memiliki budaya yang ADI LUHUNG.
Sebutan kata “Tuhan” memiliki makna: Pihak yang wajib dihormati yang setinggi-tingginya, serta harus dipatuhi segala perintah/kehendak-Nya, hal ini sama dengan tembung “Gusti” yang bermakna: yang wajib disembah dan dibekteni (dipatuhi segala perintah/kehendak-Nya) atau setya tuhu kepada-Nya. Sedangkan sebutan “Maha Esa” bermakna: Maha=linuwih/berlebih, Esa=tunggal/tunggil, sehingga kalimat yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, secara bebas dapat bermakna: pihak yang wajib dimuliakan serta dihormati setinggi-tingginya (disembah) dan berlebih (amat/sangat) tunggal (utuh), artinya, sekalipun terbagi-bagi/terpecah-pecah dan berbeda-beda namun masih berada dalam kesatuan tunggal-Nya, misalnya: tercipta adanya planet bumi beserta isinya dan benda-benda ruang angkasa lainnya di dalam hukum tata surya-Nya, semua itu masih berada dalam kesatuan tunggal-Nya, termasuk alam-alam lain beserta isinya yang tidak kasat mata.

Bangsa nusantara yang terdiri dari berbagai suku/etnis, serta agama dan kepercayaannya itu kemudian disebut “Bhineka Tunggal Ika”, berwarna-warni akan tetapi bisa guyub bersatu, namun tentu saja di dalam penyebutan terhadap Tuhan/Gusti ini juga bermacam-macam, ada yang menyebut sifatnya atau namanya, misalnya: Sang Hyang Widdi Wasa, Pangeran, Gusti Allah, Allah atau hanya disebut Gusti, Sing Maha Wikar, Sing Kuwasa, Maha Agung Kang Murbeng Dumadi, Maha Wasesa, dan sebagainya. 

Penggunaan kata sebutan tersebut selaras dengan perkembangan pergaulan bangsa majemuk ini, karenanya ada kata yang berasal dari Bahasa Arab, India, Sansekerta, Jawa kuno dan Jawa baru, dan lain-lain. Ini adalah sekedar contoh penggunaan kata yang berkembang dalam kehidupan bangsa nusantara ini, misalnya kata “Sembah Hyang” ini dari Bahasa Jawa kuno dan Bahasa Jawa baru, karena dalam hal ini Hyang (nama DZAD/Cahya MAYA) bermakna sama dengan kata Allah, berarti bersembah kepada Allah, sama artinya dengan kata “Sholat”, kata “Sujud”, dan sebagainya, dengan adanya sedikit contoh sesebutan nama Tuhan atau Gusti tersebut diatas, selanjutnya akan semakin berkembang penalaran kita ini, kita sadar bahwa Gusti itu ada dan dapat dimengerti dengan rasa, dan segalanya serba maha yang telah disebutkan tadi, misalnya: Maha Wasesa (Maha Kuasa) yang menciptakan dan sekaligus menguasai alam semesta ini (alam dengan segala isinya), oleh karenanya, orang jawa menyebut “Hyang Maha Murbeng Dumadi”, artinya yang murba dan amisesa seluruhnya yang ada/terjadi. 

Sesungguhnya akal dan pikir manusia tidak akan mampu mewadahi/memahami dengan pasti tentang keberadaan-Nya itu, karenanya ada yang menyebut memang gaib/samar, artinya tidak jelas, tetapi ada, karena sulitnya memahami, terserah kita manusia ini dalam perlakuan serta anggapan terhadap keberadaan Tuhan/Gusti ini. Misalnya, diperlakukan seperti apa, seperti bawahan yang bisa diperintah, contoh:”Ya Allah, lindungilah bangsa kami ………”, diperintah oleh umat-Nya pun tidak pernah kecewa/marah, dan sebagainya, begitu pula dipuja dan dipuji, Allah juga tidak pernah bangga disembah dan dibekteni, bahkan dianggap tidak adapun, Allah Hyang Maha Kuasa tidak akan pernah berubah, tetap sebagaimana adanya semula, karena begitu samarnya, kita manusia ini sering terjerumus dalam kekeliruan cara kita meyakininya.

Kadang-kadang terasa sangat tebal keyakinan kita terhadap kemaha-kuasaan Tuhan ini, termasuk menguasai keberadaan diri kita ini. Namun dalam suatu saat, kita manusia ini merasa sangat berkuasa, tidak hanya menguasai dirinya sendiri, akan tetapi juga merasa mampu menguasai lebih luas lainnya. Situasi dan kondisi seperti ini jika kita manusia ini telah meninggalkan sifat arif dan bijaksana, kita akan terjerumus pada sifat kesombongan manusia. Oleh karena itu, kita awajib bersyukur karena telah bersujud kepada-Nya dengan cara melalui penelitian getaran RASA, yang selanjutnya juga dapat selalu mempertajam kepekaan rasa, sehingga kita akan berkembang pada rasa dan perasaan atau dalam Bahasa Jawa-nya, Rasa Rumangsa, sehingga dapat sebagai modal pembentukkan perilaku manusia yang tidak selalu Rumangsa bisa, akan tetapi sering ingat dalam perilaku Bisa rumangsa (Rumangsa serba terkatas, rumangsa sebagai Kawula. Rumangsa sejatine among saderma nglakoni). sehingga tidak lagi kita sering lupa diri, karena selalu merasa bahwa Gusti/Tuhan tudak beserta dengan kita, dengan demikian kita sering berbuat semena-mena (sekehendak hati).

Sifat mudah lalai seperti ini, kalau kita tidak jujur, karena dimulai dari anggapan kita terhadap keberadaan Tuhan, seperti sosok orang/manusia atau sosok Raja di Raja yang posisinya di atas langit nan jauh disana, atau setidaknya merasa atau mengira ada dua pihak yang terpisah dengan jelas antara diri kita manusia sebagai umat/pihak, satu pihak dan kemudian ada Allah Hyang Maha Kuasa (Sang Pencipta alam beserta isinya) sebagai pihak yang lain, yang keberadaannya terpisah secara signifikan (tanpa sedikitpun ada hubungan), semacam keberadaan kawula dengan Gusti terpisah (dua belah pihak). Pengertian semacam ini memang tidak salah, namun sejatinya, antara manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa itu ibarat ikan dengan air samudra nan luas tiada batas, jadi ikan tanpa air pasti tidak ada/mati, namun sebaliknya air tanpa ikan ya tetap masih air, tidak akan berubah. Hal ini seyogyanya bagi Warga Sapta Darma harus dapat merasakan dan membuktikannya dalam pengertian secara luas.

Wewarah pada bab IV, Simbul Pribadi Manusia (SPM) menjelaskan bahwa di dalam pribadi manusia ada (kadunungan) percikkan Sinar Cahya Allah yang meliputi seluruh tubuh manusia. Di dalam penelitian bersentral pada kecer ati (telenging ati), karenanya ada sebutan Hati Nurani, karena itu apabila rasa hati manusia tertutup oleh berbagai macam kepentingan nafsu, tentu saja cahaya hatu manusia akan menjadi suram bahkan menjadi gelap (bingung, dan sebagainya), pengertian ini menujukkan bahwa Allah atau Hyang itu tidak berbentuk seperti sosok pribadi manusia (Raja di Raja) seperti tersebut diatas tadi. Namun Gusti/Allah/Hyang itu dalam pemahamannya tidak berbentuk apa-apa, atau dapat disebut dalam Bahasa Jawanya, “ora gatra, ora rupa”, atau “ora kena kinarya apa”. Dalam pengertian ini, sebutan Allah itu adalah nama-Nya. Adapun yang diberi nama Allah itu sejatinya DZAD/Zat Cahya Maya yang keberadaan-Nya itu maha agung/meliputi seluruh apa yang ada dan tidak mengenal dimensi ruang dan waktu serta tempat, sehingga dapat disebut tanpa batas, karenanya disebut dimana-mana ada dan tidak pernah kemana-mana, tidak pernah owah gingsir (langgeng). Itulah Hyang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya (planet-planet dalam tata surya) serta benda-benda ruang angkasa lainnya.

Di samping jagad atau alam dunia tadi juga menyatu pula adanya alam antara/lokomitara atau alam halus atau roh, dan sebagainya yang belum kembali ke alam langgeng (Kaswargan). Dan berikutnya ada alam langgeng/abadi dan atau Swarga (Alam Maya). Adanya tiga alam yang berbeda ini pada hakekatnya adalah menyatu dalam satu kesatuan yang utuh, oleh sebab itu sering juga disebut TRILOKA yang bermakna: Tri=tiga yang telah menyatu, sedang Loka=jagad atau alam. Sehingga arti lengkapnya kata “Triloka” adalah, kesatuan tiga alam (alam dunia (lokika), alam halus/roh dan lain sebagainya (lokantara), serta alam langgeng/kaswargan (lokabwera)) disamping pengertian adanya ketiga alam (makro kosmos) diatas, juga ada pengertian adanya jagad pribadi (mikro kosmos) yang juga terbagi dalam tiga tingkatan yang menyatu dalam kesatuan rasa, antara lain: di bawah lambung/tulang iga bawah, disebut JANALOKA, dari lambung keatas sampai dengan pangkal leher (tenggeg) disebut ENDRALOKA, dari pangkal leher ke kepala disebut GURULOKA. Ketiga loka ini juga disebut TRILOKA yang melambangkan seluruh jagad gumelar ini dapat dimasukkan ke dalam jagad pribadi manusia, karenanya JANALOKA sebagai lambang alam dunia, ENDRALOKA sebagai lambang alam halus/roh (usik, krentek, dan lain-lain), GURULOKA sebagai lambang alam penentu/guru/pangeran atau keputusan (dalam kondisi normal, GURULOKA/otak untuk berpikir dalam mengambil keputusan, dalam kondisi sujud, Janaloka harus lerem dulu (getaran kasar), kemudian Endraloka, krentek, angan-angan harus lerem, tidak naik ke otak.

Jika berhasil dapat menemukan jalannya getaran halus (prawita sari) naik ke Guruloka, oleh sebab itu otak harus kosong terlebih dahulu, ini bisa terjadi apabila Endraloka telah kosong/tidak mengirim getaran lagi ke otak/berpikir. Hal ini semua bisa terjadi jika jasmani/badan kasar beserta unsur sebelas saudara/badan halus telah ikhlas/pasrah/sumeleh seluruhnya, tinggal satu yang bersifat jujur dan ikhlas menerima tugas sebagai saksi, bahwa Triwikrama akan/sudah terjadi, dengan demikian adanya hanya mengerti tanpa melalui pikir/otak, karena masih dalam rasa/lubuk hati yang kosong dan jernih tadi, disinilah perlunya dalam laku keseharian, kita harus selalu menjaga kebersihan/keheningan rasa hati (Waya Brata).

Sehingga di dalam menunaikan darma hidup sehari-hari, kita harus selalu di dalam tuntunan hidup ini, artinya kehidupan ini hakekatnya hanya sebagai peraga saja (saderma nglakoni), wujud dalam rasa/perasaan kita ora rumangsa bisa ananging tansah bisa rumangsa. Merasa/menyadari bahwa semuanya ini adalah memang digerakkan oleh Sinar/Cahaya ning Hyang itu. Dengan demikian kita manusia ini tidak pernah merasa jauh apalagi berpisah dengan Hyang/Allah itu, karenanya manusia tersebut akan menjadi tambah percaya diri (PD), akan tetapi tidak sombong, karena sadar dan tahu diri (TD).

Dengan modal dasar pengertian hakuming Hyang tersebut diatas, manusia akan sadar, tulus dan ikhlas melaksanakan kewajiban setya dan tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng. Sebagai roh-nya seluruh Wewarah Tujuh yang harus didarmakan oleh ketiga warga Allah ini. Hal tersebut selaras dengan kata “darma” yang bermakna kewajiban suci, artinya seluruh tugas kewajiban hidup manusia harus dilaksanakan tanpa ada sedikitpun pengharapan akan menerima imbalan/balasan dari manapun dan berupa apapun, hanya berdasarkan rasa sadar bahwa manusia hidup dan digerakkan segalanya oleh Cahya Allah ini, sehingga hakekatnya yang berkarya dan berdarma itu adalah Hyang Maha Kuasa itu sendiri, oleh karenanya, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dalam buku Dasawarsa disebutkan SEPI ING PAMRIH, RAME ING GAWE. Itulah dasar hukum darmanya para Warga Sapta Darma yang ditujukan kelak pada saat meninggalkan dunia fana ini akan langsung dipersilahkan kembali manunggal pada asalnya (kembali sawarganya Allah lagi), yang sering disebut swarga ini adalah alam langgeng, artinya: tiga NUR yang TRIWIKRAMA ini setelah tancep kayon (wafat). Nur/Cahaya kembali manunggal sasinar di Alam Kamulyan Langgeng, sehingga manusia harus merasa tidak ada lagi, selaras dengan tesing dumadi, karena sebelum peristiwa Tesing Dumadi kita ini, kita memang tidak pernah merasa ada, karenanya harus kembali tidak ada lagi (menjadi urip langgeng/uriping Gusti).

Untuk lebih jelasnya marilah kita mencoba sekali lagi tentang pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa, yang arti dan makna ringkasnya adalah sebagai berikut: “PIHAK YANG HARUS DISEMBAH DAN DIBEKTENI SERTA AMAT TUNGGAL” yang dapat kita sebut ALLAH atau HYANG, yang bila kita sebutkan itu adalah DZAD/CAHYA MAYA yang keberadaan-Nya meliputi seluruh wujud serta sifat ciptaan-Nya (planet bumi/tata surya alam roh dan alam maya) semuanya dalam satu kesatuan (Triloka). Adapun kita manusia ini ada pada planet bumi yang berada pada lingkungan tata surya tadi (alam dunia). Sedangkan alam dunia juga diliputi oleh alam roh/halus yang masih ada sifat suka dan duka. Kemudian dari dua ala mini juga diliputi oleh alam Cahya Maya tadi, oleh karenanya dapat disebut: dimana-mana ADA, akan tetapi tidak pernah kemana-mana (tidak owah gingsir). Itulah yang kita sebut: Tuhan Yang Maha Esa (Maha Tunggal). Maha Tunggal sama dengan sebutan SATU (satunggal/SAWIJI). Tambahan uraian singkat ini kiranya dapat memperjelas pemahaman kita tentang Tuhan Yang Maha Esa. Sebutan tersebut dalam lebih singkatnya akan kita sebut saja GUSTI atau TUHAN, dalam hal ini marilah kita masuk lebih kedalam lagi, misalnya: Tuhan ini adalah rasa ASIN atau LEGI atau PADHANG, artinya dapat dijelaskan sebagai berikut: keTUHANan = keASINan = keLEGIan = kePADHANGan.

Dengan bahasan ini dapat kita pahami bahwa warga NKRI (manusia nusantara) ini pada hakekatnya disadari atau tidak, seluruhnya mengakui bahwa setiap sosok pribadi telah diliputi oleh Gusti, atau kePADHANGan Cahaya-Nya Gusti tadi, atau lebih tegasnya lagi, jika Gusti/Tuhan tadi bersifat/berupa DZAD atau CAHAYA/MAYA = NUR/URIP sehingga dapat disimpulkan bahwa kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” sama arti/maknanya dengan kalimat: keURIPan yang Maha Esa (Maha Tunggal), berikutnya dapat diyakini bahwa manusia ini cahayanya/urupnya/uripnya adalah urip-Nya Gusti, bukan hidupnya manusia sendiri. 

Oleh sebab itu, apabila manusia hidupnya ini ditarik kembali oleh Yang Empunya (Tuhan), manusia tidak akan mampu mempertahankannya, mau tidak mau meninggalah manusia ini beserta seluruh kemampuannya. Sehingga jikalau kita sepakat dengan pemahaman ini, maka segala ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang ini pada sejatinya adalah ilmu dan pengetahuan miliknya Sang Cahaya /Hidup/ Ki Urip tadi. Sehingga kita dapat meyakini kebenaran adanya ucapan bahwa, “ilmu itu adalah cahaya (cahaya Allah), atau kebenaran ucapan tiada kemampuan dan atau kekuatan apapun dan dari manapun yang ada pada diri manusia kecuali hanya ada kemampuan dan kekuatan dari Allah/Hyang tadi. Sebagai bukti dan kesaksian kita, bahwa setiap orang yang dinyatakan telah meninggal dunia/mati, mengedipkan mata saja sudah tidak akan mampu atau tidak akan kuat, silahkan digali pembuktian secara kerokhaniannya, adapun uraian diatas dapat kita anggap sebagai bukti dan kesaksian secara kejasmanian/penalarannya........BERSAMBUNG

Jumat, 13 Januari 2012

MENELISIK MISTERI SABDO PALON NOYOGENGGONG

03.08  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  No comments


Dari berbagai sumber D'maya

Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)

Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :

Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.

Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)

Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.

Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :

3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)

4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)

5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)

6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)

7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)

Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYOGENGGONG” ?

02.50  Renaja Kerokhanian Sapta Darma  10 comments

Dirangkum dari berbagai sumber

Setelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada, maka telah sampai saatnya saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.”  (merinding juga saya mendengar nama ini)
 
Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”

Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.

Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.

Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha, lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
  1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
    Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
  2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
    Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
  3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
    Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
  4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
    Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
  5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11 )
    Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
  6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
    Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
  7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
    Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
  8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
    Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
  9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
    Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
  10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
    Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru. Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada “seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.”

“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan “SATRIO PININGIT”.  Jadi, Satrio Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) = dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di “SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP” (?) = dengan nama “SP” dan “SP” (?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan” banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan waktunya ? Hanya Allah Hyang Maha Kuasa yang tahu.”

Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah Hyang Maha Kuasa memberkahi.

JAYALAH NEGERIKU,
TEGAKLAH GARUDAKU,
JAYALAH NUSANTARAKU…